Dan tentu saja, menarik apabila kita mau bertanya. “Mengapa?” Mengapa stand-up comedian Indonesia tampaknya hanya cukup populer di segmen masyarakat tertentu (baca: generasi alay)? Atau lebih mengerucut lagi jika kita menelusurinya dengan bertanya, “Mengapa stand-up comedy Indonesia seperti lebih terarah pada segmen remaja (dan notabene termasuk pula para alay di dalamnya)?”
Dalam analisis saya ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini.
Pasar yang “Available”
Di masa awal stand-up comedy di Indonesia mulai menggeliat, tidak bisa dipungkiri bahwa aktor-aktor yang memprakarsai gerakan ini adalah mereka yang tergolong pada angkatan muda usia. Dan ketika mereka merintis genre stand-up comedy di Indonesia, aspek “muda usia” kemudian terbentuk bukan hanya dalam materi yang mereka bawakan, namun juga dalam pola penyebaran informasi dan sosialisasinya.
Media (media sosial) hingga bahasa (gaul) yang digunakan untuk menyosialisasikan genre komedi ini pada akhirnya memang lebih banyak menyasar pasar anak muda.
Ini tentu juga bukan tanpa alasan. Yang pertama, sebagai sebuah genre komedi yang baru maka “pasar” dari stand-up comedy di Indonesia saat itu memang belum terbentuk. Yang kedua, secara psikologis remaja atau yang berusia sedikit di atasnya (di bawah tiga puluh tahun), adalah golongan masyarakat yang paling mudah untuk terinfiltrasi sebuah tren baru, dan dalam konteks humor pun kita tahu, usia tua akan memiliki kekenyalan yang jauh lebih alot untuk bisa ditembus dengan joke.
Artinya, pada masa awal perkembangan stand-up comedy di Indonesia, pasar yang lebih “available” memanglah pasar anak muda dan remaja.
Open Mic untuk Semua Umur
Dengan booming-nya stand-up comedy, komunitas-komunitas regional kemudian muncul dan mulai menyelenggarakan Open mic. Berbeda dengan open mic yang diselenggarakan di luar negeri, “kebijakan” open mic di Indonesia rata-rata diselenggarakan di tempat-tempat yang memungkinkan kehadiran remaja. Pemilihan tempat open mic kerap menggunakan Cafe, Restoran yang ramah dikunjungi untuk semua usia. Penyelenggaraan jam open mic pun umumnya tidak dilakukan di atas jam “malam” tapi dilakukan di jam-jam “prime time” di mana anak muda dan remaja sebagai target audiensnya masih umum untuk beraktivitas di luar rumah.
Penyelenggaraan open mic dengan kebijakan seperti ini tentu saja secara langsung berperan untuk membentuk dan memperkuat pasar remaja sebagai target audiens dari pagelaran stand-up comedy. Saat ini akan sangat mudah menemukan wajah-wajah belia, sekitar usia SMP atau SMA muncul dalam perhelatan open mic yang diselenggarakan komunitas-komunitas. Dan sebaliknya justru semakin jarang bisa melihat wajah-wajah “mature” di antara penonton yang menyimak penampilan para Komika.
“Kebijakan Televisi”