Lima tahun telah berlalu sejak dunia stand-up comedy hadir di tengah-tengah kita.
Lima tahun. Bukan waktu yang sebentar. Meski bukan waktu yang terlalu lama juga.
Tapi rasanya waktu yang cukup untuk kita iseng-iseng melontarkan tanya,
“Quo Vadis stand-up comedy Indonesia?”
***
Pertanyaan ini menjadi penting bagi saya, dan mudah-mudahan juga bagi Anda, terutama ketika melihat gejala terkini seiring dengan keluarnya film yang dibintangi delapan Komika (stand-up comedian) Indonesia berlevel Nasional, Comic 8 Casino King Part 2, gugatan miring muncul begitu deras di media sosial.
Ada satu frasa yang terasa menohok begitu kuat ketika disematkan pada sosok Komika, baik khususnya pada mereka yang terlibat dalam film tersebut maupun Komika Indonesia secara umumnya : “Ternak Alay”
[caption caption="Rekaman citra lini masa"][/caption]Tidak terlalu njlimet untuk menjabarkan apa makna pelekatan atribut “peternak alay” dengan sosok Komika lokal kita. Bila mengingat perkembangan awal stand-up comedy lima tahun lalu, sebagai satu genre komedi yang berupaya tampil kritis, generasi alay (remaja dengan ciri khusus perilaku yang norak, lebay atau berlebihan) menjadi salah satu objek yang umum “diangkat” para Komika dalam bit-bitnya.
“Diangkat” tentu saja menjadi sebuah eufemisme karena dalam bit-bit yang dibawakan para Komika generasi alay bukan hanya diledek namun seringkali sudah terkesan dihujat dan dilecehkan. Akibatnya menjadi semacam hipokrisi ketika dalam perkembangannya kemudian segmen remaja (dan termasuk para alay di dalamnya) yang justru menjadi target audience utama dari industri stand-up comedy di Indonesia.
Tapi saya tidak ingin berdebat panjang lebar untuk persoalan ini. Karena di sisi lain, apa yang dianggap “hipokrisi” itu malah bisa dianggap memunculkan sisi kesuksesan yang menegakkan esensi stand-up comedy sebagai sebuah misi. 1)
Pasar yang Tertinggal
Bagi saya ada hal yang lebih menarik. Lontaran kecaman yang menghantam Komika dan dunia stand-up lokal seperti sebagian bisa dibaca dalam komentar di artikel review Hans David, seorang wartawan Jakarta Post, yang mengkritisi film Comic 8 Casino King Part 2 seharusnya kita baca sebagai satu gambaran penting dari peta eksistensi seni stand-up comedy di Indonesia itu sendiri.
Ada semacam ketidakpuasan dari segmen masyarakat yang lebih mature (dewasa) terhadap penampilan rata-rata Komika, yang justru mencerminkan satu hal penting : adanya pasar yang belum sepenuhnya berhasil digarap oleh dunia stand-up comedy di Indonesia saat ini.
Asumsi ini saya kira tidak berlebihan. Kurang lebih tiga tahun lalu, Arman Dhani di media Midjournal menulis satu tulisan yang cukup tajam bertajuk, Komedi dan Remeh Temeh Setelahnya. Tulisan yang mendatangkan berbagai tanggapan secara langsung dari pelaku dunia stand-up comedy di Tanah Air, seperti Mosidik dan Ridwan Remin, pada intinya mengungkapkan kegelisahan yang sama. Bagaimana sosok stand-up comedy di Indonesia belum cukup mampu tampil sebagaimana harapan pemirsa (dewasa) yang terbiasa melihat stand-up comedy yang dibawakan komika-komika terkenal dari luar negeri.