Mohon tunggu...
Agung Noegroho
Agung Noegroho Mohon Tunggu... wiraswasta -

Maaf.... hanya Sebagai Tukang Corat-coret di dunia maya, makanya banyak yang kotor karena tulisanku .....! Tapi biarlah kotor daripada tak pernah mencoba tuk menulis.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Komersialisasi "Label" SBI dan RSBI

7 Juni 2011   13:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:46 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wajah Anak Sekolah. Gambar :http://2.bp.blogspot.com

[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Mahalnya Biaya Sekolah ! Gambar :http://www.primaironline.com"][/caption] Memang sekolah sudah menjadi kebutuhan dasar bagi semua orang, dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidikan di negeri ini. Apalagi sekarang, sekolah-sekolah sudah berlomba-lomba untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat untuk dijadikan trade mark sekolah yang bonafide dan bermutu dengan status baru SBI ( Sekolah Bertaraf Internasional) dan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Adapun pengertian SBI sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 8 Permendiknas No. 78 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Sekolah Bertaraf Internasional selanjutnya disingkat SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Namun standar yang diberikan pemerintah tersebut bukannya sebagai stimulus sekolah tersebut untuk lebih mengutamakan mutu pendidikan serta kualitas lulusan anak didiknya, juga digunakan sebagai nilai tawar bagi calon peserta didik yang akan berminat menjadi anak didik di sekolah tersebut. Sehingga kadang kala SBI sering diistilahkan sebagai Sekolah Berbasis Iuran. Ini terbukti dari standar penerimaan peserta didik baru pada SBI semata-mata bukan berdasar prestasi akademik, namun tingkat sosial ekonomi orang tua peserta didik juga menjadi pertimbangan. Sangat mustahil calon peserta didik yang berasal dari kasta ekonomi menengah ke bawah mengakses layanan pendidikan di SBI atau RSBI, walaupun memiliki potensi intelektual dan kemampuan akademik yang bagus.  Padahal secara prestasi dan kemampuan akademik layak masuk ke SBI, Selain SMA negeri, sekolah menengah kejuruan yang berstatus negeri pun juga berlomba-lomba menjadi RSBI atau SBI. Padahal kita tahu bahwa sekolah kejuruan menjadi tujuan calon peserta didik dari kalangan bawah untuk melanjutkan pendidikan pasca SMP. Sebab dengan bersekolah di kejuruan maka setelah lulus siap dibutuhkan dengan dunia kerja tanpa harus menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dengan berlabel RSBI atau SBI tentu Sekolah kejuruan pun hanya akan mampu diakses oleh kalangan “berduit”. Keberadaan SBI yang hanya memberikan kesempatan bagi peserta didik dari golongan borjuis dan meminggirkan anak-anak dari kalangan menengah kebawah atau proletar adalah bukti adanya pelanggaran hak-hak warga negara untuk mengakses pendidikan tanpa diskriminasi sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun secara legal formal Pendirian sekolah berstatus SBI atau RSBI juga diamanat dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal Pasal 50 ayat 3 yaitu, pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Regulasi inilah yang kemudian melahirkan peraturan di bawahnya yakni Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Lahirnya Permendiknas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah telah mendorong satuan pendidikan berlomba-lomba menyelenggarakan kelas RSBI atau SBI dengan memasang tarif yang sangat mahal untuk ukuran ekonomi menengah kebawah. Bahkan pemerintah daerah dan DPRD pun seakan dibuat tidak berdaya oleh satuan pendidikan berlabel SBI atau RSBI. Walaupun masyarakat banyak yang mengeluh mahalnya biaya pendidikan pada sekolah SBI, baik pemerintah daerah maupun lembaga legislatif lokal kurang responsif terhadap permasalahan tersebut. Padahal kita tahu bahwa semua sekolah negeri pada setiap jenjang, tak terkecuali yang ‘berlabel” SBI merupakan unit pelaksana teknis daerah (UPTD) yang berada dalam kendali pemerintah daerah dan pendanaan untuk operasional penyelenggaraan pendidikan bersumber dari APBD. Sekolah menengah yang telah membuka kelas RSBI atau SBI dalam setiap tahun selalu mendapatkan bantuan dana dari APBD kota/kabupaten dengan jumlah yang cukup besar. Jumlah itu diluar anggaran proyek-proyek fisik seperti rehab atau pembangunan gedung dan selain dana BOS untuk satuan pendidikan setingkat SMP. Kita tentu patut bertanya-tanya, mengapa sudah mendapatkan alokasi dana dari APBD namun masih tetap ‘pasang tarif” mahal?? [caption id="" align="alignleft" width="270" caption="Wajah Anak Sekolah. Gambar :http://2.bp.blogspot.com"][/caption] Kegelisahan masyarakat ini harus ada upaya-upaya penanganan dari pemerintah daerah dan DPRD agar sekolah-sekolah negeri yang berlabel SBI atau RSBI tidak semena-mena membebankan biaya mahal kepada peserta didiknya. Dalam menyikapi maraknya SBI bertarif mahal, pemerintah daerah sebenarnya yang memiliki wewenang penuh. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan pasal 35 ayat 1 Pemerintah kabupaten/kota mengakui, memfasilitasi, membina, dan melindungi program dan/atau satuan pendidikan bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apakah dengan tarif masuk sekolah berlabel SBI dan RSBI yang mahal tersebut malah menjadikan kesenjangan sosial di masyarakat. Yang akhirnya muncul anggapan atau opini bahwa anak-anak yang bisa masuk di sekolah berlabel SBI dan RSBI adalah anak-anak orang yang "berduit", dan sekolahnya adalah sekolah anak-anak orang kaya yang tidak mementingkan kemampuan akademisnya. Sehingga masyarakat akhirnya malah meragukan peserta didik di Sekolah berlabel SBI dan RSBI belum tentu anak-anak yang pintar/pandai dalam sekolah, namun anak-anak orang berduit yang bisa menuruti "permintaan" sekolah bersangkutan. Komersialisasi itu terasa sekali, bahkan saat PSB (Penerimaan Siswa Baru) di sekolah berlabel SBI dan RSBI, hanya cuma formulir pendaftaran saja "harganya" sampai ratusan ribu rupiah. Hal ini berbeda dengan sekolah reguler bahkan sekolah swasta yang nilainya hanya beberapa ribu rupiah saja. Belum lagi perlengkapan dan biaya SPP per semesternya, di SBI dan RSBI mencapai jutaan rupiah. Bukankah hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kalangan "miskin". Mungkin sekarang anak yang mempunyai prestasi akademik yang baik, alias pintar/pandai belum tentu dapat mengenyam sekolah yang layak setara dengan kemampuannya, bahkan anak didik yang kurang pandai bahkan bodoh sekalipun asalkan ada uang bisa mengenyam sekolah yang berstandar internasional tersebut. Alasan minimnya dukungan dana APBD sering dijadikan alibi para penyelenggara SBI untuk menarik biaya mahal dari peserta didik. Kita cuma bisa berharap bahwa memperbaiki mutu pendidikan anak-anak bangsa wajib dilakukan guna meningkatkan harkat martabat bangsa tercinta. Namun meningkatkan mutu pendidikan bukan dengan jalan membebani peserta didik dengan mahalnya tarif pendidikan yang hanya mampu dijangkau kaum borjuis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun