Pemilu serentak masih 2 tahun lagi. Tapi meski masih cukup waktu, Â tatan tatan sudah mulai dilakukan. KPU sebagai Shohibul baith sudah mulai rancang rancang. Roadmap sudah dibuat. Timbel sudah dihitung hitung. Katanya butuh Rp.76,6 triliun. Wow.
Para politisi yang lama maupun pemain baru, para petahana dan yang baru mau tandang di legislatif atau di eksekutif mulai tebar pesona. Mendadak ramah tamah, menebar senyum dikulum. Ketemu sini berjumpa sana. Salah satunya civil society yang sedang berjuang untuk pemekaran daerah otonom baru.
Prof Siti Zuhro sudah mewarning mereka. Kata peneliti senior LIPI itu, isu pemekaran wilayah memang sering jadi komoditas politik. Memberi PHP. Mau berjuang untuk itu. Menebar peluang, seolah olah gampang.Â
Masyarakat jangan terlalu terbuai. Lagi pula sebenarnya pemekaran wilayah itu lebih bernuansa kepentingan para politikus itu sendiri. Mereka yang akan mendapat banyak peluang. Di DOB itu akan tersedia setidaknya 2 kursi Kepala dan wakil kepala daerah. Juga puluhan kursi legislatif.
Sangat mungkin  bertumpuknya usulan DOB sampai lebih dari 300 itu  justru akibat perdagangan politik.
 Teman teman saya yang sudah biasa jadi pengamat di warung kopi mengingatkan mereka, aktivis masyarakat dan juga PNS/ASN. Pegawai Negeri dan keluarga itu sering menjadi sasaran untuk mendulang suara dan dukungan.
Tapi hati hati dengan dendam politik. Ada pengalaman seorang teman. Anaknya seorang PNS, 12 tahun lalu mendukung  seorang calon. Calon itu kakak kelasnya di STPDN. Jadi ada semacam corps solidarity. Sayangnya jagoannya kalah. Dan politisi yang menang itu melakukan kebijakan dendam politik.Â
Anak teman saya itu selama 10 tahun disingkirkan. Ia tidak pernah dapat jabatan yang selayaknya.  Dua kali ikut post bidding untuk eselon II tak pernah dihiraukan. Padahal panitia seleksi  menempatkan dia di rangking pertama. Jabatan camat saja hanya dipangkunya selama 3 bulan saja. Padahal anak itu lulusan sekolah camat.
Makanya teman teman saya mewanti wanti sekali kepada para PNS agar benar benar netral dalam perhelatan demokrasi itu. Aturannya memang begitu. Ada undang undang yang mengatur netralitas PNS.
Ada teman saya aktivis presidium DOB di Jabar Selatan menyebut ingin memanfaatkan saja keramahan politisi itu untuk kepentingan perjuangan. Tapi saya katakan kepadanya, caranya harus cash and carry. Crung creng. Jangan dianjuk. Nanti kalau sudah hasil mah lupa. Â Jangankan memenuhi janji, ditemui saja sulitnya setengah mati. Mukanya saja ditekuk kembali. Keramahan dan senyum manisnya hilang lagi.
Makanya hati hati dengan keramahan dan senyum simpul para politikus. Itu mah cuma akting doang, memenuhi tuntutan sekenario saja. Hehehe.- Â *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H