Mohon tunggu...
PRIADARSINI (DESSY)
PRIADARSINI (DESSY) Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan Biasa

penikmat jengQ, pemerhati jamban, penggila serial Supernatural, pengagum Jensen Ackles, penyuka novel John Grisham, pecinta lagu Iwan Fals, pendukung garis keras Manchester United ....................................................................................................................... member of @KoplakYoBand

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Satu Kata Berharga itu "Pulih" (3)

23 Oktober 2024   12:51 Diperbarui: 25 November 2024   13:53 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro: Tuberkulosis Paru Bukan Batuk Biasa (link di bawah)

TB Paru 

Seminggu setelah negatif Covid-19, di awal Juli, aku drop lagi, semakin susah tidur, batuk makin parah, malam hari selalu keringatan dan demam. Kalau ngomong dikit jadi batuk, apalagi ketawa tambah batuk. Dan mulai batuk berdarah. Aku mulai takut.

Asli uji mental banget, mulai dari Covid-19 gak bisa makan, akhirnya bisa makan dikit aja bikin nangis. Terus membaik, bersyukur banget. Eh tapi habis itu drop lagi. Membaik lagi. Sampai akhirnya drop dengan kondisi yang parah banget. Mental dibuat naik turun gak keruan. Berasa lagi uji nyali.

Baiklah aku pikir, saatnya harus ke Dokter Spesialis Paru. Tapi kondisi RS saat itu masih terlalu padat untuk berobat, ke puskesmas untuk minta rujukan BPJS pun kondisinya masih gak memungkinkan. Jadi enaknya emang berobat di Klinik Dokter Spesialis. Sodara aku nyaranin ke Klinik Paru yang di Rawamangun, yang terkenal sejak tahun 80an.

Jadi aku memutuskan untuk berobat ke sana. Tanggal 17 Juli pagi, aku pun pergi ke sana, sampai jam 7.00 pagi, eh pas ambil antrian sudah no 11. Dokternya mulai praktek jam 9.00 pagi. Ternyata pasien dokter tersebut ramainya minta tolong, jadi emang sebaiknya ambil antrian pagi banget, karena saat pandemi, dia hanya terima 20 pasien sehari. Dan per pasien konsulnya lumayan lama.

Mana kondisi lemas banget. Sekitar menjelang jam 12 siang, nomor aku baru dipanggil, Pas ketemu dengan dokter, diperiksa punggungnya juga. Dokternya bilang ini kayaknya ada penumpukan dahak, bisa karena alergi. Tapi untuk pastinya dirontgen dulu. Jadi disuruh rontgen di RS Dharma Nugraha yang berjarak 170m dari Klinik tersebut. Katanya hasilnya bisa ditunggu. Begitu hasilnya ada, bisa minta perawatnya nyela untuk langsung ketemu dokternya lagi.

Saat aku kembali bawa hasilnya, dokternya bilang ada flek di paru bagian kanan bawah itu sisa Covid-19 dan ada flek di kiri atas itu TB. Terus aku dicek lagi lehernya, ada beberapa benjolan, itu salah satu ciri TB. Dokternya juga nanya, kalau malam hari keringatan gak? Setelah aku ingat-ingat, emang kalau malam hari keringatan, walau di kamar ber-AC.

Setelah tau aku kena penyakit apa, rada lumayan tenang. Mulai tergambar apa yang harus dijalani selanjutnya. Energi kayak terkumpul kembali. Secara sebelumnya berserakan, berantakan dan bertebaran. (lebay yo ben)

Tahap selanjutnya aku harus tes darah, untuk ngecek kondisi seberapa parah infeksinya. Juga harus tes BTA (Bakteri Tahan Asam) melalui pengumpulan dahak.

Jadi nanti balik lagi setelah dapat hasil tesnya, dan dikasih obat pengencer dahak, antibiotik, pereda batuk (racikan) dan vitamin untuk 10 hari. Vitamin ada 3 jenis; Vitomed, Onoiwa dan Vitamin D3. Yang takjub tuh harga Onoiwa, mahaaaaal pake banget. Mana Onoiwa diresepkan sepanjang 3 bulan pertama pengobatan TB. Bahkan banyak apotik yang gak jual dan lebih parahnya beberapa apoteker gak pernah denger vitamin Onoiwa. Tapi tetep aku beli, karena aku baca di Google, manfaatnya banyak.

Sementara untuk tes darah dan dahak, Dokternya sih nyuruh di Puskesmas aja, karena ghrateees. Tapi ternyata puskesmas dekat rumah, alatnya lagi diperbaiki. Nyoba Puskesmas lain gak boleh, harus puskesmas sesuai kelurahan domisili.

Yah terpaksa di Prodia, tapi itupun Prodia tidak menerima tes dahak selama pandemi. Jadi tes dahak ini harusnya sewaktu (saat datang ke lab), pagi hari bangun tidur (dan sampelnya dibawa ke lab) dan sewaktu (di lab lagi saat bawa sampel dahak yang dari rumah). Tapi karena kondisi pandemi, tentu gak bisa ambil sampel dahak di tempat umum, lepas masker aja gak boleh. 

Artinya hanya bisa ambil sampel dahak yang bangun tidur pagi di rumah. Kalau di Prodia sampelnya harus di antar jam 6 pagi. Agak ribet ini urusannya. Karena Prodia lumayan jauh dari rumah.

Balik lagilah ke Puskesmas, nanya kalau tes dahak bisa gak. Alhamdulillah bisa. Sama gak bisa ambil sampel di Puskesmas, hanya sampel yang diambil di rumah pagi, dan diantar jam 8 pagi. Dikasih wadahnya gitu, untuk nyimpan dahaknya.

Begitulah jadinya tesnya terpisah, tes darah di Prodia yang sudah tentu gak gratis dan tes dahak di Puskesmas, gak pake bayar.

Hasil tes darah tentunya tingkat infeksi sudah tinggi banget, juga Hb terlalu rendah dan tes dahak bahkan positif 3. Lalu aku 26 Juli 2021 membawa hasilnya ke Dokter. 

Gimana selanjutnya? Tunggu di artikel berikutnya aja ya, aku sudah mulai pegel ngetik ini. :))

Link Sumber Gambar: RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro: Tuberkulosis Paru Bukan Batuk Biasa

__

Artikel sebelumnya

Satu Kata Berharga itu "Pulih" (1)

Satu Kata Berharga itu "Pulih" (2)

Artikel selanjutnya

Satu Kata Berharga itu "Pulih" (4)

Satu Kata Berharga itu "Pulih" (5)

Satu Kata Berharga itu "Pulih" (6)

Satu Kata Berharga itu "Pulih" (7)

Satu Kata Berharga itu "Pulih" (8)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun