[caption id="attachment_184090" align="aligncenter" width="368" caption="Gunung Merbabu (Gambar diambil dari: http://id.merbabu.com/gunung/gunung_merbabu_thekelan.html)"][/caption] Di kampus saya dulu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) untuk pecinta alam dinamakan WAPEALA (mahasisWA PEcinta ALAm). Kalau di Jurusan saya namanya kerenan dikit, ada bau-bau simbol matematikanya, yaitu EPSILON (Expedition for Life of Nature). Singkatannya emang agak maksa sih, tapi terkesan kreatif dalam mencari nama. Saya dari dulu ingin sekali ikutan yang namanya kegiatan pecinta alam, cuma ibu saya tak merestui kalau saya ikutan naik gunung. Yah biasalah, takut anak perempuannya kenapa-kenapa. Berhubung saya anak yang agak penurut, jadi saya hanya memandang sinis teman-teman saya yang sibuk dengan EPSILON nya. Suatu ketika, sesudah mengisi KRS, masih ada waktu sekitar 2 minggu libur sampai saat saya harus memulai kuliah di semester 4. Saat itu di kos hanya ada bertiga, yang satu, mbak S jurusan Ilmu Kelautan sedang sibuk dengan skripsinya, yang satu lagi F, adik angkatan saya, semester 2. Ditengah kejenuhan yang melanda, tiba-tiba temannya mbak S, bernama mas P, dia salah satu anggota WAPEALA, mengajak kami untuk berkemah selama 3 hari. Wah tentu kami sambut dengan senang hati. Lalu saya bertanya, "Kita mau kemah kemana nih mas P?" Mas P menjawab, "Kita kemah ke Tekelan aja, desa terakhir kalau mau naik gunung Merbabu, lewat Kopeng.." Wah kita bertiga langsung seneng bayangin mau refreshing. Terus saya tanya, "Apa saja yang harus dibawa? Apa disana dingin? Perlu bawa tenda dan sleeping bag nggak?" "Nggak perlu bawa tenda, kita nginap di rumah penduduk. Disana nggak terlalu dingin kok, jadi nggak perlu sleeping bag. Nanti aku bawa keperluan STANDAR WAPEALA deh...", kata mas P meyakinkan. "Kita perlu bawa makanan nggak? Atau mie instan atau snack gitu?", sahut mbak S dengan menggebu-gebu. "Nggak usah, kalian bawa diri aja dan bawa pakaian, nggak usah banyak-banyak. Nanti keperluan disana aku yang bawa. Untuk makanan disana banyak, nanti dimasakin sama penduduk disana, bayarnya murah kok", mas P menjelaskan tak kalah hebohnya. Nah saat harinya tiba, pacarnya mbak S, mas G, ikut juga. Dan saya memutuskan untuk membawa bed cover, karena F punya penyakit asma, jadi nggak bisa kedinginan. Seingat saya, Kopeng saja sudah dingin, apalagi Tekelan yang lebih tinggi dari Kopeng. Eh saya diketawain mas P, "Hahaha.. Ngapain pakai bawa bed cover segala. Kayak mau pindah tidur aja..". "Yeee si F kan asma, habisnya mas nggak bawa sleeping bag sih.. Btw dari Kopeng ke Tekelan jauh nggak? Nanjak banget nggak?", tanyaku penasaran. "Tenang aku udah bawa keperluan STANDAR WAPEALA kok.. Nggak jauh dari Kopeng ke Tekelan, dan nggak nanjak-nanjak banget..", menurut si mas P dengan keyakinan tingkat tinggi. Mas G nimbrung, "Yakin ya semua sudah siap.. Aku nggak bawa apa-apa loh.." "Yakin.. Wis lah kita kemon..", mas P sudah nggak sabar. Lalu kami pun berangkat ke Kopeng dengan naik bis umum. Setiba di Kopeng, kami mampir dulu di pasar. Mbak S nanya lagi ke mas P, "kita beneran nggak perlu beli makanan buat ngemil?" "Nggak perlu..", mas P mulai kesal. "Ya udah bawa buah aja gimana?", sambung mbak S. "Terserahlah... Ayo cepetan kita naik..", mas makin terlihat tak sabar. Jadilah kami beli salak sekilo. Kemudian mulai jalan mendaki menuju Tekelan. Dan ternyata eh ternyata buah semangka berdaun sirih (jadul banget yaak..), perjalanan dari Kopeng ke Tekelan itu tidaklah dekat dan menanjak terus. Teman saya, si F, mulai kelelahan, dia nggak bisa jalan-jalan jauh apalagi mendaki, belum lagi fisiknya agak lemah. Sehingga bentar-bentar istirahat, tapi untung waktu itu nggak mutusin ngesot, kalau nggak tambah nggak sampai-sampai. Kita mulai ngoceh-ngoceh, katanya deket, ini sudah sejam, nggak sampai-sampai. Si mas P, cuma mesam-mesem ranah (ora genah.. -red). Setelah 2 jam-an lebih include istirahat include ngoceh-ngoceh, akhirnya kami pun sampai di Tekelan sekitar jam 3 sore. Kami langsung ke rumah penduduk, tempat kami menginap. Dan ternyata Tekelan itu sangat dingin sodara-sodara. Mana diiringi hujan segala. Kecewa yang pertama, huaaaah duingiiiiiin. Saya mana nggak bawa jaket, hanya pakai kaos lengan panjang doang. Ini nggak sesuai dengan deskripsi mas P. Ditengah kedinginan yang mendera, lapar pun tiba (nggak tau kenapa perut nggak bisa diajak kompromi..). Kecewa yang kedua, nggak ada warung buat beli kemilan, nanya ke ibu yang punya rumah, kami tanya, apa kami bisa dibuatkan makanan sekarang? Kecewa yang ketiga, si ibu bilang, "makanan hanya bisa kami sajikan nanti malam jam 7..". Tak putus asa, kami minta dibuatkan mie instan, eh si ibu bilang dia nggak punya mie instan. Huaaaah, kami mulai ngamuk-ngamuk dan ingin rasanya nelen si mas P ini (tapi pasti dagingnya nggak enak.. Jadi nggak nafsu buat nelen.. hihihi). Kemudian minta mas P bertanggung jawab untuk mencarikan kita mie instan untuk mengganjal perut sampai waktu makan malam tiba. Pergilah mas P dibantu mas G, untuk hunting mie instan. Hasilnya? Kecewa yang keempat, nggak ada satu pun warung disana, akhirnya door to door minta mie instan. Dan dapet mie instan, tapi cuma 2 bungkus. Okeh 2 bungkus untuk berlima? Cuma buat geli-geliin perut doang. Mas P pun ngeluarin perabotannya, gelas plastik warna pink, piring plastik pun warna pink. Dan saya pun ngoceh, "Ooo jadi ini yang dibilang STANDAR WAPEALA? Hahaha..." Akhirnya mas P pun jadi bulan-bulanan kami untuk diejek. Lalu kami main kartu mengisi waktu menunggu makan malam. Dan jam 7 yang ditunggu-tunggu pun tiba, kami makan kayak orang kalap. Saat itu sudah ada orang-orang yang mau naik gunung Merbabu. Mereka terlihat heran lihat kami. Terus mereka nanya, mau naik gunung juga ya? Kami hanya tersipu malu (baca: senyum speechless. -red). Mendaki ke puncak Merbabu dari Tekelan memakan waktu 8 jam, jadi setelah makan malam, rombongan yang akan mendaki itu tidur, karena mau mendaki jam 10-an, agar bisa ketemu matahari terbit di puncak. Sementara kami sibuk main kartu kedinginan tanpa jaket dan malu mau ngeluarin bed cover. Kekesalan saya saat itu adalah rombongan pendaki itu pada tidur di sleeping bag. Ingin rasanya mencakar-cakar (lebay..) mas P, secara dia bilang nggak perlu bawa sleeping bag karena nggak dingin. Lah mereka aja, yang sudah khatam berkali-kali naik gunung, tidurnya pada pakai sleeping bag. Rrrrrgh... Setelah jam 10 malam, rombongan pendaki itu bersiap untuk berangkat, lalu mereka bertanya, "Kalian mau naik jam berapa?" Mas P yang jawab, "Jam 11 mas.." "Ooo.. Kenapa nggak bareng kita aja? Kan kalau rame-rame lebih asiik..." "Ketemu diatas saja mas.. Kami masih nunggu temen..", mas P pinter banget ngeles. Setelah rombongan itu pergi, saya langsung ngeluarin bed cover, lalu bergumul didalamnya bersama mbak S dan F. Lalu coba tebak, apa yang dikeluarkan mas P dari tasnya? Sprei bunga-bunga, sodara-sodara. Dan kita pun tertawa, "Hahaha.. Jadi ini yang namanya STANDAR WAPEALA.. Hahaha.." Dan kami pun nggak bisa tidur, karena bed cover tak kuasa menahan dingin yang menusuk raga (ceileee bahasanyeee...). Sementara itu mas P, bisa tidur dengan nyenyak diiringi irama kentutnya yang tiada henti. Saya heran, kok mas P ini bisa tidur sambil kentut terus-terusan. Memang orang yang unik.. Hihihi.. Semalaman menahan lapar dan dingin sungguh menyiksa, dan ternyata setelah pagi pun penyiksaan belum berakhir. Kecewa yang kelima, sarapan ternyata dijadwalkan si ibu jam 8, sementara perut kami sudah meraung-raung minta tolong. Belum lagi nggak ada minuman hangat. Akhirnya dengan sedikit memelas dan minta belas kasihan, ibunya mau menyediakan sarapan jam 7. Setelah makan, kami semakin tak bisa menikmati acara kemah itu, hujan lebat datang, dingiiinnyaaa semakin nggak ketulungan. Dan kamipun mengambil keputusan bijak untuk pulang balik ke kos, karena tak mungkin bertahan lagi dengan segala persiapan yang minim, untuk nginap selama 3 hari. Begitu sampai di kos langsung tepar. Selama seminggu ke depan, kami bertiga balas dendam, hanya makan dan tidur yang kami lakukan, plus sekali-kali tertawa kalau inget yang namanya STANDAR WAPEALA. Setiap bertemu mas P, kami selalu tertawa dan bertanya, apa kabarnya STANDAR WAPEALA? Hihihi.. Mas P tampaknya lupa, kalau kami bertiga nggak punya pengalaman naik gunung sama sekali, jadi seharusnya persiapannya nggak bisa seminim yang biasa dia lakukan. Dan sejak itu kami nggak tertarik lagi dengan tawaran kemah dari mas P, walau dia bilang nggak kan kayak gitu lagi. Saya memang nggak punya pengalaman menjadi pecinta alam, tapi saya cukup berpengaman menjadi pecinta kamuuu.. #eaaaa... Hihihi.. Salam pecinta alam.. ___ Powered by @KoplakYoBand
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H