Lalu bila ternyata pemberitaan itu salah bagaimana? Masih menurut Farid Gaban: "Meminta maaf telah membuat kesalahan itu bagus meski sering tak cukup. Prosedur jurnalistik meminimalkan kesalahan".  Dan mengenai plintiran yang di sampaikan Farid Gaban: "Plintiran Koran Tempo dengan Judul: "Adhi Akui Beri Proyek ke Ny. Anas" sementara isi: "PT Dutasari mitra kerjasama (Adhi) dengan syarat tertentu". Setelah saya baca kembali, ternyata memang ada plintiran berita disitu. Saya menjadi semakin mengerti dalam menyaring suatu berita yang disampaikan oleh media massa.
Farid Gaban menutup diskusinya dengan kalimat: "Investigasilah tuduhan korupsi Anas Urbaningrum secara tuntas benar atau salahnya. Jangan cuma permukaan. Saya kagum Anas sebagai politisi muda yang merangkak dari bawah. Tapi jika terbukti dia korupsi, saya akan ikut mengecamnya".
Kebebasan media dalam memberitakan banyak hal saat ini, patut kita apresiasi, tapi kita juga harus lebih cerdas dalam menyikapi dan menyaring. Demikian juga dengan media harus banyak menyampaikan berita secara jurnalistik bukan secara politis. Tapi saya yakin semua tentu bertujuan demi Indonesia yang lebih baik. Terima kasih kepada Farid Gaban untuk inspirasinya.
Tambahan:
Setelah tulisan ini di baca Farid Gaban, beliau memberikan kepada saya tambahan dalam prinsip jurnalistik sebagai berikut:
- Wartawan (tak cuma Tempo) sering lupa melihat, mana FAKTA dan mana KLAIM (sumber berita).
- Dalam kasus terorisme, misalnya, banyak wartawan menelan mentah pernyataan polisi. Pernyataan itu KLAIM mereka, bukan FAKTA.
- Tugas wartawan adalah memeriksa, memverifikasi, klaim/pernyataan narasumber. Jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Kalau suatu pernyataan tak bisa diverifikasi sebaiknya tak ditulis. Atau ditulis dengan ekstra hati-hati, menegaskan SIAPA yg katakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H