Mohon tunggu...
PRIADARSINI (DESSY)
PRIADARSINI (DESSY) Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan Biasa

penikmat jengQ, pemerhati jamban, penggila serial Supernatural, pengagum Jensen Ackles, penyuka novel John Grisham, pecinta lagu Iwan Fals, pendukung garis keras Manchester United ....................................................................................................................... member of @KoplakYoBand

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lebih Mencintai Indonesia Setelah Bermukim di Jayapura

3 Mei 2011   06:26 Diperbarui: 11 Agustus 2015   20:44 3233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya menjadi tau budaya Papua, Sulawesi, Maluku, bahkan teman saya yang orang Toraja, sudah membuat saya mengerti tata cara upacara pemakaman yang memakan waktu 40 hari dan dia ijin selama itu karena hal itu sangat penting bagi suku mereka. Guru kami pun memberi ijin. Disana guru punya banyak kelonggaran untuk hal-hal seperti itu.

Sementara itu anda jangan heran bila di Papua, anda sering bertemu babi hitam berkeliaran dijalanan. Karena bagi orang Papua, babi adalah hewan yang sangat berharga. Karena babi digunakan untuk berbagai perayaan adat, bahkan untuk upacara seperti kelahiran, menstruasi yang pertama kali juga saat kematian. Jangan sekali-kali anda menabrak babi peliharaan, karena urusannya bisa panjang sama dengan anda menabrak orang, ganti ruginya tinggi bahkan bisa sampai ke pengadilan. Kami berbaur dengan keragaman itu, sekaligus berbagi cerita tentang kebudayaan masing-masing. Dan hal tersebut memperkaya wawasan saya tentang berbagai suku di Indonesia.

Toleransi Beragama Membuat Saya Menghargai Perbedaan Keyakinan

Warga Kaimana, Papua Barat, tengah melakukan tradisi Hadrat. Tradisi Hadrat rutin dilakukan ketika momen Idul Fitri tiba. Hadrat adalah tradisi berkeliling rumah-rumah tokoh dan masyarakat di Papua untuk bersalam-salaman. Uniknya adalah masyarakat selain beragama islam pun turut memeriahkan acara ini/Kompas.com

Di Papua sulit mencari agama mayoritas, karena yang beragama Islam disana hanya sebagian dari jumlah penduduk yang tinggal di Papua. Demikian halnya dengan agama Katolik dan Kristen Protestan. Seakan agama terbagi-bagi seimbang. Hal ini terlihat saat pelajaran agama, biasanya digabung dua atau 3 kelas yang terpecah dengan jumlah sama besar. Untuk agama Budha dan Hindu memang sedikit, namun tetap menurut saya lebih banyak dibanding saat saya sekolah di Jakarta ataupun di Padang.

Konflik agama boleh dibilang tidak pernah menjadi isu di Papua. Saya kagum dengan cara bertoleransi penduduk di Papua. Percaya atau tidak berlebaran di Papua lebih ramai dari pada berlebaran di Jakarta. Karena warga Papua punya kebiasaan, walaupun mereka tidak merayakan lebaran, namun mereka akan berkunjung ke rumah anda, untuk mengucapkan selamat lebaran dan bersilahturahmi. Jangankan orang yang anda kenal, yang tidak kenal pun pasti akan mampir mengucapkan selamat. Apalagi yang beragama Islam pasti akan saling mengunjungi. Jadi disana lebaran itu wajib "open house", karena tamu akan banyak berkunjung dan di rumah saya, biasanya kami menyediakan prasmanan. Tamu seharian itu bisa seratusan orang, sampai pegal rasanya tangan mencuci piring. Dan dihari ketiga lebaran teman-teman saya ramai datang ke rumah untuk mengunjungi semua guru-guru yang beragama Islam.

Hal ini pun berlaku saat Natal tiba, budaya silahturahmi ke setiap teman, tetangga dan guru yang merayakannya pun dilakukan oleh umat beragama lain. Libur Natal biasanya selama dua minggu hingga tahun baru. Bahkan saya jadi tau, bahwa orang yang beragama Advent, tidak memakan hewan juga beribadah di hari sabtu. Sehingga dulu teman saya, tiap hari sabtu bolos sekolah (saat itu hari kerja masih 6 hari). Begitu juga saat Paskah, saya heran mengapa liburnya juga dua minggu. Ternyata karena ada sebagian umat Kristen aliran tertentu, yang merayakan Paskah lebih besar dari Natal, karena justru saat Natal mereka tidak merayakannya dengan meriah, hanya melakukan misa di gereja.

Satu lagi yang saya salut terhadap orang-orang yang tinggal di Papua adalah saat Hari Nyepi. Tetangga saya dua rumah di sebelah rumah saya adalah orang Bali yang beragama Hindu. Untuk menghormati mereka yang sedang menjalankan ibadah Nyepi, jalan di blok itu ditutup, tidak boleh dilewati kendaraan. Bila ada yang ingin lewat maka mereka harus berputar. Dan kami para tetangga dengan kesadaran sendiri tidak membuat kegaduhan sepanjang hari tersebut.

Indahnya toleransi umat beragama di Papua sungguh membawa kita untuk saling menghargai keyakinan kita masing-masing.

Papua Memiliki 200 sampai 300 Bahasa Daerah Membuat Saya Mencintai Bahasa Indonesia

Papua adalah propinsi yang kaya akan bahasa, ada 200 sampai 300 bahasa daerah yang mereka miliki. Dengan banyaknya bahasa daerah, banyak orang Papua yang seusia saya sudah tidak lagi bisa berbahasa nenek moyangnya. Sehingga di Papua tidak ada pelajaran bahasa daerah dan juga menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa komunikasi di Papua, yang tentu saja dengan dialek khas Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun