Malam itu, (22/11)-Secangkir kopi telah siap untuk dinikmati, kupulan asap rokok memadati ruangan yang berukuran kurang lebih 3x4 M. Alunan musik terdengar menyertai percakapan kami, "Lagu apa?" "Hio." "Hio," saya mengulangi ucapanya.
"Hio, sejenis menyan, buat ibadah China" langsung saja, saya mengeja ucapan "Hio," untuk mempertegas ungkapanya, sambil menyambar alat pengatur kursor, lalu mengiklik dengan secapat kilat putaran lagu Hio terdengar kembali.
Sambil mendengarkan lagu tersebut, kami melanjutkan percakapan, percakapan apa saja. Tanpa sadar malam kian larut, dan pertemuan harus terselesaikan. Sepanjang jalan, penggalan lagu "Hio" masih teriang, dan sesampai di rumah acara TV telah menyambut, acara yang menyajikan para ahli hukum, anggota dewan, dan para pengamat berukumpul untuk berdebat, mereka berdebat persolan politik, hukum terhadap kasus korupsi, atas perdebatan tersebut tak jarang mereka saling mencerca, bahkan sampai menampakan urat nadi.
Sekelabat ucapan terlontar begitu saja “Mereka begitu kritis, bagitu hebat, siapa yang korupsi?”
Entah kenapa, secara tiba-tiba penggalan -penggelan rilik lagu “Hio” ciptaan Iwan Fals yang pernah ditampilkan bersama Sawung Jabo, hadir dalam benak. Sayapun mulai mendendangkan penggalan-penggalan yang masih tersisa dalam benak,
Hio, Hio, Hio,
Aku tak mau mengikari hati nurani
Aku mau jujur-jujur saja
Aku mau berkata apa adanya
Bicara apa adanya
Kira-kira begitulah, syairnya, jika ada yang hafal, silahkan ditambahkan .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H