Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eriko-san, Mamaku di Maebashi

25 Februari 2018   16:00 Diperbarui: 25 Februari 2018   17:44 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku dan Eriko-san bersama onigiri berselimut telur dadar (Dokumentasi Pribadi)

Ketika Anda bertemu orang yang lebih baik dari Anda, berusahalah menjadi seperti dia. Ketika Anda bertemu orang yang tidak sebaik Anda, melihatlah ke dalam dan bercerminlah. (Konfusius)

16 Agustus 2005, sebuah gempa berkekuatan lebih dari 6 skala Richter mengguncang Jepang bagian utara, namun getarannya dirasakan sampai Tokyo, demikian berita yang kudapat dari berbagai stasiun TV dan website berita di internet. Aku khawatirkan keadaan teman-teman yang berada di sana, juga Eriko-san, seorang wanita Jepang yang ramah, mamaku di Maebashi.

Kukirim sebuah e-mail untuk menanyakan kabarnya. Ah... kusadari aku tidak cukup sering berkirim kabar padanya, padahal dia adalah salah satu host family-ku di Jepang, selain Deguchi-san di Miyazaki ketika aku menjalani masa homestaysemasa liburan musim semi pertamaku di sana.

Sebuah reply datang kemudian, mengabari bahwa dia dan keluarganya baik-baik saja. 'Tomomi-chan baru saja melahirkan anak keduanya, seorang putri yang lucu. Sepasang cucuku sekarang, dan kami senang sekali bermain bersama mereka. 

Yuu-chan (panggilan sayang untuk anak sulungnya) akan melangsungkan pernikahan bulan Oktober mendatang' Tulisnya dalam e-mail balasannya untukku. 'Calon menantuku adalah juga seorang guru sekolah dasar, seperti dirimu. Bagaimana dengan kabarmu sekarang?' Hangatnya sapaan perempuan paruh baya yang akrab kupanggil dengan Eriko-san ini.

Teringat saat aku hendak berangkat mengikuti program homestaydi masa liburan kuliahku. Beliau membantuku memesankan tiket bus malam yang akan membawaku pulang-pergi dari Maebashi ke Osaka. (Baca: "Homestay yang Berkesan"). 

Saat itu kemampuan berbahasa Jepangku masih sangat minim, sehingga tak berani (dan memang belum bisa) melakukan reservasi tiket. Tapi kok nekat ikutan homestayya, yang notabene akan menuntutku untuk terus berkomunikasi dalam bahasa Jepang selama 2 minggu-an di rumah keluarga Jepang. Hehe...

Aku dan Eriko-san dipertemukan di malam lebaran tahun 2002. Saat itu aku tak bisa berangkat ke Tokyo untuk mengikuti shalat Ied karena satu dan lain hal. Kebetulan, malam itu ada pertemuan dengan host family yang diorganisir oleh salah satu biro di balai kota. Saat pertama berkenalan dengannya, aku langsung merasa dekat dengannya. Kemampuan bahasa Inggrisnya yang baik memudahkan kami berkomunikasi. 

Minatnya pada kerajinan tangan termasuk proses membatik membuatku makin akrab dengannya. Sungguh suatu kebetulan bahwa akupun mempunyai minat yang besar pada kain-kain tradisional, terutama batik, bahkan salah satu alamat e-mail yang kumiliki bertajuk batikmania. Haha...

Saat itu putra keduanya yang sudah menikah sedang menantikan kelahiran anak pertama yang ternyata lahir sehari setelah pertemuanku dengannya. Saat ini dia telah dikaruniai cucu kedua dari anak keduanya, sementara anak pertamanya juga baru saja menikah. Ah... senangnya mendapat kabar baik dari sana. Teringat kembali saat-saat kebersamaan kami.

Darinya aku belajar banyak hal, dengan cara yang menarik pula!  Sebuah perayaan yang dikhususkan untuk anak perempuan biasa dirayakan orang Jepang di sekitar musim semi dengan nama Hinamatsuri. Dalam kesempatan itu, rumah-rumah di Jepang berhias dengan memajang boneka-boneka cantik berbagai bentuk dan ukuran yang biasanya berpasangan, laki-laki dan perempuan, seperti loro blonyo di Jawa. 

Dalam kesempatan makan siang itu, aku dan karibku Barbara datang ke rumahnya dan menikmati santapan nasi berbalut telur dadar yang dibentuk menyerupai sosok boneka manusia. Lucunya...

Di kesempatan lain, Eriko-san juga pernah mengajakku berkunjung ke lokasi pembuatan benda seni keramik, sebuah wahana seni yang juga disukainya. Sebuah situs kuil Budha yang terawat rapi juga sempat kami kunjungi bersama. Saat ini, berbagai kuil Budha maupun Shinto di Jepang memang telah terbuka untuk kunjungan turis, dan mengalami perubahan fungsi, walaupun fungsi utamanya sebagai tempat ibadah masih juga belum luntur. 

Di kuil tersebut, Eriko-san menjelaskan berbagai hal. Mulai dari cara memulai doa di depan pintu kuil dengan tepukan tertentu (yang tentu saja tak perlu kulakukan), membunyikan lonceng kuno, memutar roda antik besar yang biasa dilakukan para biksu jaman dulu, melempar koin ke dalam kolam keberuntungan, mengambil omikujiatau kertas ramalan (yang hanya bisa dilakukan di awal tahun), dia juga menceritakan kebiasaan di malam tahun baru untuk bersama-sama membunyikan lonceng kuil sebanyak 108 kali yang merupakan perlambang banyaknya dosa manusia yang harus dihilangkan. 

Banyaknya.... Tapi mungkin memang dosa kita teramat banyak, yang secara sadar atau tidak sudah kita lakukan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Awal tahun merupakan momen yang tepat untuk mengingat kembali kesalahan yang telah kita perbuat, dan bermuhasabah untuk memperbaiki diri di tahun berikutnya. Ah... sungguh filosofi yang agung.

Beberapa filosofi tradisional Jepang yang mewarnai kehidupan mereka hingga saat ini memang masih terasa kental dan tak lekang oleh zaman, walaupun kemajuan teknologi telah terserap hingga ke pelosok-pelosok. 

Sungguh suatu perpaduan yang harmonis antara tradisional dan modern, dua titik ekstrim yang sepertinya bertolak belakang. Melihat pada bangsa sendiri, saat ini rasanya sudah banyak keluarga Indonesia yang meninggalkan nilai-nilai tradisional dan berpaling ke barat yang kemudian dianggap sebagai budaya tinggi untuk kemudian ditiru. Tak bisakah kita seperti orang Jepang, yang berhasil memadukan nilai timur dan barat secara harmonis. Bukan suatu hal yang mustahil, kurasa.

Pada malam sebelum kepulanganku ke Indonesia, Eriko-san berkeras untuk mengajakku menginap di rumahnya yang relatif baru selesai direnovasi. Niatan untuk mengundangku menginap di rumahnya sebetulnya sudah cukup lama dia sampaikan, tapi berhubung rencana renovasi rumahnya yang cukup memakan waktu, niat itu tak kunjung terealisir sampai hari terakhir sebelum pesawat JAL membawaku pulang kembali ke Indonesia.

Hari terakhir itu aku masih sangat sibuk membenahi barang-barangku. Rupanya tidak cukup waktu untuk membenahi semuanya sendirian, di sela-sela kesibukanku menulis perbaikan laporan yang harus kuserahkan kepada sensei, 'pesta-pesta perpisahan' dengan teman-teman, menyortir segala barang dalam apartemen dan sebagainya. 

Ah... Eriko-san dengan segala keramahan dan totalitas khas orang Jepang membantuku menyelesaikan permasalahan packing itu dan kemudian membawaku ke rumahnya yang nyaman untuk menikmati malam terakhir di Jepang.

Dini hari, kembali Eriko-san membawaku menembus dinginnya udara pagi serta lengangnya lalu lintas kota Maebashi menuju pemberangkatan bus yang akan membawaku ke Bandara Narita, untuk kemudian kulanjutkan perjalananku kembali ke Indonesia. 

Sambil menunggu datangnya bus, kami sempatkan untuk berbincang-bincang lagi memanfaatkan saat-saat terakhir kebersamaan kami. Janji untuk tetap berkirim kabar, saling kontak via e-mail ataupun surat, diucapkan melalui kata-kata tersendat karena keharuan yang menyesak. Terasa betapa singkatnya waktu yang telah kami jalani bersama selama keberadaanku di sana. Mengingat kebaikan Eriko-san, mamaku di Maebashi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun