Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hiro dan Lucero, Bantuan Saat Dibutuhkan

13 Januari 2018   20:08 Diperbarui: 13 Januari 2018   21:16 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"...Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa." (Q.S. 16, An Nahl: 30)

Sebagai orang asing di Jepang, aku pernah beberapa kali ditawari untuk memberikan pengenalan tentang Indonesia kepada warga Jepang. 

Sebuah kesempatan baik untuk menyampaikan beberapa fakta tentang Indonesia, meluruskan miskonsepsi dan salah kaprah, sekaligus memperlancar kemampuan berbahasa Jepang. 

Ah... ini sebetulnya yang paling berat, karena dalam masa tinggal 1,5 tahun, memberikan presentasi (sederhana sekalipun), bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Tapi sedikit tertular dengan semangat kesungguhan orang-orang Jepang kebanyakan, kuterima juga tugas itu.

Acara pertama adalah presentasi kecil di kumpulan informal yang disebut Nihongo Hiroba. Komunitas ini beranggotakan orang-orang Jepang yang secara sukarela mau bergabung dengan mahasiswa atau penduduk asing lainnya dan membantu kami untuk menggunakan bahasa Jepang secara lebih aktif. 

Tidak formal, tapi disosialisasikan dalam bentuk beragam games menarik ataupun perbincangan informal. Tanpa adanya tekanan, aku pun bisa menikmati pertemuan yang diadakan sekali setiap dua pekan itu.

Dalam pertemuan itu, aku bersama Faried -seorang mahasiswa Indonesia lainnya- mempresentasikan serba sedikit tentang Indonesia dalam forum yang biasanya dihadiri oleh sekitar 20-30 orang itu. 

Pada saat bahasa Jepangku 'mentok', para relawan di kumpulan itu terus menyemangati, membuat otakku berpikir lebih keras, mencari alternatif kata dan kalimat yang lain untuk menjelaskan apa yang kumaksud. Sementara Faried, dengan santai dia sih langsung 'ganti channel' dan memberi penjelasan dengan bahasa Inggris saja. Haha...

Dalam satu kesempatan, sensei pembimbing memintaku untuk memberikan presentasi tentang Indonesia di salah satu Sekolah Dasar di wilayah Gunma yang diorganisir oleh salah satu biro di balai kota. 

Biro ini memang secara reguler mengundang mahasiswa asing untuk memperkenalkan tentang negara mereka kepada siswa-siswi Sekolah Dasar di Jepang, tentu saja yang termasuk ke dalam wilayah mereka. Dalam briefing awal, aku diarahkan untuk melakukan presentasi tandem bersama seorang warga Malaysia, mengingat kemiripan budaya antara kedua negara. 

Aku tentu saja tidak keberatan, walaupun masih tetap merasa gentar dan jatuh mental, karena warga negara Malaysia berdarah Cina yang akan jadi partner presentasiku itu sudah tinggal selama hampir tujuh tahun di Jepang. 

Kemampuan berbahasa Jepangnya sudah tak perlu diragukan lagi. Mulai dari bahasa gaul sampai bahasa tersantun, sudah dia kuasai, Sementara aku? Bahasa komunikasi standar saja aku masih bicara dengan terbata. Tapi ... aku harus berani mencoba, dan berusaha supaya tidak gagal. Jangan sampai deh mempermalukan diri sendiri. Bismillah...

Dalam waktu yang hampir bersamaan, divisi mahasiswa asing di Universitas Gunma juga memintaku untuk melakukan presentasi serupa di sebuah Sekolah Dasar lain di bagian utara kota tempat tinggalku, di sebuah Sekolah Dasar bernama Fuji. Kupikir, karena persiapannya punya kemiripan, aku iyakan saja kedua tawaran itu. (heh... nekaat...!!!)

Kupersiapkan naskah untuk kedua presentasi itu. Cuma sedikit perbedaan yang kubuat. Presentasi yang akan kulakukan tandem difokuskan pada murid-murid kelas 6 yang memang sudah mempelajari geografi dunia, sedangkan presentasi di SD Fuji lebih umum, ditujukan untuk seluruh sekolah! Waw.... Isinya lebih-kurang tentang kondisi penduduk Indonesia, iklim, situasi sekolah, beberapa kebiasaan khusus, dst dst.

Sebelum naskah itu kupresentasikan di depan forum, tentu aku banyak melakukan konsultasi dengan tutorku, seorang mahasiswa sastra Inggris berkebangsaan Jepang yang kurasakan sangat banyak memberikan bantuan untukku. 

Dalam pertemuan formal setiap pekan, dia banyak memberikan input tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan dan kebiasaaan orang Jepang, membuatku tambah pintar! 

Sedangkan di hari-hari menjelang presentasi pentingku, dia mau meluangkan waktu lebih lama, bahkan pada hari lain yang bukan merupakan jadwal pertemuan kami. Sungguh merupakan bentuk kepedulian, bantuan yang tepat pada saat kuperlukan. 

Pada malam sebelum presentasiku di SD Fuji, dia dan Lucero, seorang teman berkebangsaan Peru yang sudah 5 tahun tinggal di Jepang (sudah seperti orang Jepang saja), datang ke apartemenku dan ikut membantu menyempurnakan naskah yang sudah diedit berulang kali. 

Aku pun didaulat untuk melakukan latihan presentasi untuk menguji ketepatan pengucapan, intonasi, maupun kecepatan bicaraku. Namun pada saat itu aku belum punya hard copy-nya sama sekali. 

Aku hanya punya laptop untuk keperluan pengetikan di rumah, tapi tak punya printer. Biasanya aku toh bisa dengan mudahnya membuat print out naskah apapun di lab. komputer kampus. Gratis! Tapi memang terbatas pada jam kerja saja, dari jam 8 hingga 5 sore. 

Dan malam itu, menjelang jam 8 malam, aku harus membuat naskah tersebut dalam bentuk print out, segera! Aku akan dijemput salah seorang karyawan kantor universitas untuk diantar ke SD Fuji pada jam 6 pagi, dan tak akan sempat untuk mencetak naskah itu di lab.komputer kampus sebelum berangkat. 

Aku menelfon seorang teman yang kutahu mempunyai printer di rumahnya. Rencananya, aku hendak mendatangi rumahnya dan mencetak naskah itu di sana, tapi ternyata dia sedang berlibur di Okinawa!! Aku mulai panik, tapi tutorku ternyata punya solusi. Dia katakan bahwa aku bisa menggunakan lab.komputer kampus, yang baru akan tutup pada jam 8 malam. 

Dia dan Lucero mempunyai kunci ke lab.komputer tersebut dengan kartu mahasiswa sebagai kunci masuknya. Aku sendiri, tidak punya kartu mahasiswa karena statusku sebagai traineedi universitas tersebut, dan lab.komputer untuk mahasiswa asing hanya dibuka sampai jam 5 sore. 

Dalam waktu yang tinggal sekitar 15 menit lagi, Lucero yang membawa mobil van besar bersedia mengantar kami ke kampus. Untunglah, jarak antara apartemenku dan kampus bisa ditempuh hanya dalam waktu 3-4 menitan dengan mobil.

Sampai di depan lab.komputer, suasana senyap. Gelap. Aku sudah khawatir... takut tak bisa masuk. Ternyata lab masih bisa dibuka dan kami bersegera menyalakan dua buah komputer sekaligus untuk kemudian membuka file-ku dengan salah satu komputer yang bekerja lebih cepat. 

Tidak lama kemudian, aku sudah memegang dua berkas print out naskahku. Ah... leganya. Lututku lemas, tapi hati tenang karena 'siap tempur' untuk presentasi keesokan paginya. 

Kebiasaan mengerjakan sesuatu di saat 'injury time' ini, aku tahu tidak baik. Tapi saat adrenalin memuncak karena efek panik, sering kali malah muncul ide-ide baru yang bisa digunakan, sekaligus kejelian melihat peluang yang bisa dimanfaatkan. Ah... alasan :p

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Dari pengalaman itu, kusadari bahwa persahabatan antara aku dan tutorku, juga salah seorang mahasiswa asing lainnya telah memperkuat rasa saling menolong di antara kami. 

Atau... apakah memang rasa empati di antara orang Jepang memang telah tumbuh begitu besar, sehingga dengan mudahnya mereka mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan yang saat itu betul-betul kuperlukan? Kembali aku membuat perbandingan. 

Dengan situasi di Indonesia, di antara sesama muslim. Apakah kita sudah bisa saling membantu?  Aah...! Rasanya aku masih harus belajar banyak dari orang Jepang.

Ada juga sih beberapa kondisi di saat aku mendapat bantuan dari orang yang tepat pada saat yang tepat (sangat kuperlukan), dan sungguh, aku sangat bersyukur karenanya. 

Tidak selayaknya bila aku hanya berharap orang lain akan selalu mengulurkan tangan untukku, melainkan sudah selayaknya aku pun melakukan hal serupa, memberikan bantuan pada saat aku bisa, pada orang yang memang memerlukan. Budaya ini juga yang harus kutumbuhkan. 

Mulai dari diriku, mulai dari hal yang kecil, dan harus segera kumulai, sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun