Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sekolah Pertama itu Bernama Ibu

4 Januari 2018   00:14 Diperbarui: 4 Januari 2018   05:09 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita bisa pintar menulis dan membaca, dari siapa?

Kita bisa tahu beraneka bidang ilmu, dari siapa?

Kita bisa pandai dibimbing pak guru

Kita bisa pintar dibimbing bu guru

Guru bak pelita penerang dalam gulita

Jasamu tiada tara

Masih terngiang lagu yang kerap diputar di televisi jaman dulu, mengingatkan kita pada jasa seorang guru. Tapi sejatinya, guru pertamaku (dan kuyakin juga gurumu), adalah seorang Ibu. Ibu yang melahirkanku, menyusui, menyapih dan mengasuhku. Segala ilmu yang kudapat, awalnya berasal dari Ibu. Tak akan habis dituliskan, ilmu yang diturunkan Ibu buatku. Kali ini ingin menyusunnya kembali, bukan sekedar untuk mengenang Ibu, tapi kembali mengingat jasanya, yang tak akan lekang digerus waktu. Tak dapat terbalas oleh bakti ananda sepertiku. Tulisan ini sebagai bentuk terima kasihku pada Ibu.

Hadiah terbesar dari Ibu adalah kehidupan itu sendiri. Tanpa Ibu, tak akan ada aku. Aku lahir sebagai anak bungsu dari 4 bersaudara yang semuanya perempuan. Mungkin pernah terbersit keinginan di hati bapak dan ibu untuk memiliki satuuu saja anak lanang dalam keluarga, tapi kuasa Allah, anak ke-4 ternyata perempuan lagi. Disyukuri. 

 Sebagai anak bungsu, guruku tak cuma Ibu. Bapak dan kakak-kakak juga tak kalah besar andilnya dalam mengajariku. Belajar bersikap santun di mana pun, tentu karena adab yang diajarkan dan diterapkan di rumah. Mulai dari hal-hal kecil dalam keseharian semacam makan sendiri tanpa bunyi, pakai baju dan sepatu sendiri. Belajar makan hingga butir terakhir, bukan karena nasi yang akan menangis, tapi justru belajar untuk mensyukuri setiap butir rezeki yang kita dapat dari Ilahi. Bukankah janji Allah, bahwa Dia akan menambah nikmat bagi orang yang menyukuri nikmat-Nya.

Dari rumah, aku belajar menulis dan membaca. Masuk SD tinggal melancarkan saja, tapi sejatinya aku sudah bisa. Itu karena Ibu, yang rajin mendongeng dan bercerita, hingga inin aku membaca lebih banyak lagi. Jika bisa membaca, aku tak perlu bergantung pada apa yang akan diceritakan Ibu. Setelah pandai membaca dan bersekolah, tentu ada masa-masa tes atau ujian. 

Setiap ujian tiba. Kami minum air bening yang didoakan. Bukan jampi-jampi harupat, hanya doa tulus seorang Ibu, dengan harapan agar semua urusan anaknya lancar dan berkah. Dalam hatiku, sebuah rasa menyelinap, bahwa Ibu peduli padaku. Tak hanya sekedar mengingatkan atau menyuruh untuk belajar, tapi juga turut serta dalam proses kesuksesan kami dengan mendoakan kebaikan bagi kami (Ibu jarang menemani kami belajar, karena dianggapnya kami sudah mandiri, atau mungkin karena Ibu memang sudah sibuk sendiri).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun