Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengucap "Oishisou!", Belajar Mensyukuri Hidangan ala Orang Jepang

6 Januari 2018   06:01 Diperbarui: 27 Januari 2018   21:05 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-Nya. Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang, dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

(Q.S. 55, Ar Rahmaan: 10-13)

Ketika Teh Dini, salah seorang mahasiswa Indonesia asal Bandung, ikut bergabung bersamaku di kota kecil Maebashi yang damai, kami langsung jadi akrab. Dia adalah mahasiswa program S-2 yang dikirim tugas belajar oleh departemen tempatnya bekerja. Sebagai mahasiswa, dia tentu berhak mendapatkan seorang atau dua orang tutor yang akan membantunya menjalani kehidupan belajar di universitas. Tutor-tutor kami pun jadi akrab bersama. 

Dalam satu kesempatan, aku dan Teh Dini berencana untuk menjamu tutor kami dengan makanan khas Indonesia. Kami pun merencanakan menu yang akan kami sajikan dengan cermat. Kami ingin menghidangkan masakan khas Indonesia yang enak, namun tidak rumit untuk memasaknya. Segera, kami pun sepakat untuk membuat nasi kuning (instan...) dengan gado-gado, ayam goreng kuning, bakwan udang, abon sapi, dan emping yang dilengkapi pula dengan sambal botol yang bisa kubeli di sebuah toko di Kota Oizumi. Kami buat pula puding santan dengan gula merah sebagai hidangan pencuci mulut.

Pada hari yang ditentukan, datanglah tutor kami beserta 2 orang teman dari tutorku. Teh Dini sendiri punya dua orang tutor. Hmm... Jadilah kami bertujuh malam itu makan malam bersama sambil berbincang-bincang.

Jamuan makan masakan Indonesia.
Jamuan makan masakan Indonesia.
"Oishisou...!" Itu adalah kata pertama yang diucapkan seorang Jepang pada saat di depannya terhidang makanan. Dan memang, secara otomatis kelima orang Jepang yang bergabung di ruang rekreasi bersama yang "disulap" jadi ruang makan itu secara nyaris bersamaan mengucapkan kata yang sama. Oishisou ini kurang lebih berarti, "Kelihatannya enak!" Mereka memang baru melihat bentuknya, atau menghirup aromanya saja, tapi ungkapan itu langsung terucap dari mulut mereka. 

Sebelum mulai makan, mereka juga nyaris serentak mengucapkan kata "Itadakimasu!" yang kurang lebih berarti, "Kami terima makanan ini." Sepanjang acara makan, nyaris tanpa henti juga mereka memuji masakan yang kami hidangkan. "Oishii! (enak!)" ujar mereka berulang-ulang. Bahkan mereka tetap berkomentar oishii pada bumbu gado-gado yang ternyata pedas sekali! Mereka sebetulnya sangat tidak biasa dengan rasa pedas cabai. Masakan Jepang rata-rata berasa manis atau asin/gurih. Ketika mereka menjajal bumbu gado-gado yang (buatku sendiri sekali pun) pedas? Sshhh.... Tetap... "Oishiii!" ujar mereka. Subhanallah.

Ungkapan penghargaan orang Jepang pada makanan sungguh sangat tinggi. Apa pun yang disajikan, mereka biasa menyatakan ungkapan tersebut. Sungguh menghargai makanan, dan itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Mungkin kata tersebut sudah secara otomatis mereka ucapkan setiap kali menemui hidangan, tapi terlihat bahwa mereka memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya. 

Awalnya kupikir, ungkapan itu hanya diucapkan pada saat mereka dijamu makan, untuk menghargai tuan rumah. Tapi ternyata... aku masih sering mendengar kata itu diucapkan berkali-kali oleh kawan-kawan Japanese yang lain.

Dalam satu kesempatan, guru bahasa Jepang kami mengajak untuk makan bersama, merayakan usainya masa belajar pada semester berjalan. Ah, setuju! Melepas sesi belajar yang ketat dan kadang menegangkan, rasanya pantas untuk dirayakan dengan makan-makan di restoran. Maka kami pun mendatangi sebuah restoran Jepang yang chic.

Dua buah meja kami gabungkan untuk mendapatkan suasana akrab antara guru dan murid yang kadang tak bisa kami temui di kelas. Segera, kami pun mulai memesan makanan yang sebetulnya masih asing bagi kami. Saya sendiri memesan nasi dengan lauk ikan semacam lele yang dibumbui kecap. Hm... tampak sedap, pikirku.

dokpri
dokpri
Tak berapa lama, pesanan kami pun mulai berdatangan, memenuhi meja kembar kami. Setelah itu, tiga orang sensei yang ikut bergabung dengan kami mulai ribut berkata, "Oishisou...!" yang tentu saja disambung bersahut-sahutan oleh kami. Beberapa di antara kami mungkin hanya sebatas basa-basi atau mengekor belaka.

Rata-rata, makanan yang disajikan di Jepang ditata dengan begitu indah di piring atau alas saji. Ada satu ungkapan di Jepang, "Me de taberu", makan dengan mata. Tentu tidak dapat diartikan secara harfiah, tapi dengan demikian, baru melihatnya saja, kita sudah tergiur untuk memakannya.

Seorang kawan memesan nasi dalam wadah serupa dandang kecil yang dilengkapi dengan selembar kertas berisi petunjuk tatacara makannya. Teratur dalam urut-urutan yang baku. Wah! Awalnya terpikir rumit dan merepotkan sekali, tapi kemudian kusadari bahwa itu adalah merupakan penghormatan atas makanan itu, yang kemudian (konon) akan memunculkan kelezatannya secara maksimal! Oh... Sesungguhnya ini hanyalah bentuk kesungguhan dari orang Jepang untuk menyiapkan hidangan sebaik-baiknya, agar bisa dinikmati dengan sebaik-baiknya pula. Melihat kesungguhan mereka, aku jadi malu sendiri.

Buatku, aku setuju bahwa hidangan memang ada untuk disyukuri, dan rasanya "cukup" dengan mengucapkan doa sebelum dan sesudah makan. Tapi lagi-lagi aku harus mengakui bahwa kadang kala aku tidak mengucapkan doa itu dengan sungguh hati, hanya berupa gumaman otomatis yang sudah rutin tanpa dibarengi kesungguhan bersyukur. Astaghfirullaahal adziim. Kembali aku belajar sesuatu dari masyarakat Negeri Sakura ini.

Kadang kita terlena dengan melimpahnya makanan yang bisa kita nikmati dan menganggapnya sebagai hal biasa. Padahal subhanallah... semua itu ada untuk kita karena Allah jua yang sungguh besar kasih dan sayang-Nya kepada kita. Kenikmatan mengecap rasa pun hanyalah dari-Nya yang juga harus kita syukuri. 

Bahkan ketika sisa sari makanan itu keluar dari tubuh kita dengan mudah pun, itu adalah suatu nikmat yang tidak kalah besar. Fabiayyi aalaa iRobbikumaa tukadzdzibaan. Maka nikmat Tuhan yang manakah yang akan kamu dustakan? Astaghfirullah... Ampunkan hamba-Mu ini, Ya Allah. Berilah kemudahan bagiku untuk menjadi abdan syakuro, hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Mu, semua nikmat-Mu, yang tak terhitung, tak sanggup hamba menghitungnya. Amiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun