Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengucap "Oishisou!", Belajar Mensyukuri Hidangan ala Orang Jepang

6 Januari 2018   06:01 Diperbarui: 27 Januari 2018   21:05 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

dokpri
dokpri
Tak berapa lama, pesanan kami pun mulai berdatangan, memenuhi meja kembar kami. Setelah itu, tiga orang sensei yang ikut bergabung dengan kami mulai ribut berkata, "Oishisou...!" yang tentu saja disambung bersahut-sahutan oleh kami. Beberapa di antara kami mungkin hanya sebatas basa-basi atau mengekor belaka.

Rata-rata, makanan yang disajikan di Jepang ditata dengan begitu indah di piring atau alas saji. Ada satu ungkapan di Jepang, "Me de taberu", makan dengan mata. Tentu tidak dapat diartikan secara harfiah, tapi dengan demikian, baru melihatnya saja, kita sudah tergiur untuk memakannya.

Seorang kawan memesan nasi dalam wadah serupa dandang kecil yang dilengkapi dengan selembar kertas berisi petunjuk tatacara makannya. Teratur dalam urut-urutan yang baku. Wah! Awalnya terpikir rumit dan merepotkan sekali, tapi kemudian kusadari bahwa itu adalah merupakan penghormatan atas makanan itu, yang kemudian (konon) akan memunculkan kelezatannya secara maksimal! Oh... Sesungguhnya ini hanyalah bentuk kesungguhan dari orang Jepang untuk menyiapkan hidangan sebaik-baiknya, agar bisa dinikmati dengan sebaik-baiknya pula. Melihat kesungguhan mereka, aku jadi malu sendiri.

Buatku, aku setuju bahwa hidangan memang ada untuk disyukuri, dan rasanya "cukup" dengan mengucapkan doa sebelum dan sesudah makan. Tapi lagi-lagi aku harus mengakui bahwa kadang kala aku tidak mengucapkan doa itu dengan sungguh hati, hanya berupa gumaman otomatis yang sudah rutin tanpa dibarengi kesungguhan bersyukur. Astaghfirullaahal adziim. Kembali aku belajar sesuatu dari masyarakat Negeri Sakura ini.

Kadang kita terlena dengan melimpahnya makanan yang bisa kita nikmati dan menganggapnya sebagai hal biasa. Padahal subhanallah... semua itu ada untuk kita karena Allah jua yang sungguh besar kasih dan sayang-Nya kepada kita. Kenikmatan mengecap rasa pun hanyalah dari-Nya yang juga harus kita syukuri. 

Bahkan ketika sisa sari makanan itu keluar dari tubuh kita dengan mudah pun, itu adalah suatu nikmat yang tidak kalah besar. Fabiayyi aalaa iRobbikumaa tukadzdzibaan. Maka nikmat Tuhan yang manakah yang akan kamu dustakan? Astaghfirullah... Ampunkan hamba-Mu ini, Ya Allah. Berilah kemudahan bagiku untuk menjadi abdan syakuro, hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Mu, semua nikmat-Mu, yang tak terhitung, tak sanggup hamba menghitungnya. Amiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun