Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Homestay yang Berkesan

30 Desember 2017   08:31 Diperbarui: 31 Desember 2017   03:12 1412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pribadi Anda bukanlah sesuatu yang ditakdirkan, melainkan harus dibentuk terus menerus melalui serangkaian pilihan atas tindakan (John Dewey)

Setelah setengah tahun (efektifnya sih hanya 5 bulan) menjalani program belajar bahasa Jepang intensif, tibalah masa liburan musim semi di bulan Maret. Menimbang masa liburan yang cukup panjang juga tidak adanya rencana untuk mudik ke Indonesia, maka aku memutuskan untuk mengikuti program Homestayselama 2 pekan yang diorganisir oleh Yayasan Karaimo. 

Program homestay ini diadakan di pulau Kyushu, jauh juga lho dari Gunma, tempat tinggalku. Kebetulan Faried, satu teman lain dari Indonesia, juga berminat ikut serta, jadi aku punya teman untuk travelling.

Naik bus malam ke Osaka, makan waktu semalam suntuk. Pagi hari setibanya di Osaka, kami menyempatkan diri untuk sedikit jalan-jalan keliling kota mengunjungi Kastil Osaka. Sempat pula berfoto-ria di kebun bunga Plum yang berbunga warna-warni nuansa putih hingga merah tua. Cantik! Sore hari, kami harus berkumpul di dermaga kapal feri untuk bertemu dengan anggota rombongan lain dan berangkat bersama-sama ke Kyushu. Beruntungnya punya teman seperjalanan, aku jadi punya teman nyasar. Haha...! 

Maklumlah, kemampuan bahasa Jepang kami ternyata masih minim sekali untuk dipakai berkomunikasi dengan penduduk asli Jepang. Bila kami berhasil bertanya dengan sukses, seringkali jawaban yang diberikan penduduk Jepang asli itu disampaikan dalam kalimat yang teramat sopan namun rumit, sehingga membuat kami harus berpikir ulang untuk mengerti artinya. Bila kami berhasil menangkap satu-dua kata kuncinya, itu pun rasanya sudah sangat melegakan. Ah...

Di Kyushu, aku dan Faried berpisah. Aku ditempatkan di wilayah Miyazaki, kota Takanabe, untuk tinggal bersama satu keluarga petani sayuran. Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, Mizue si sulung perempuan, dan Kouichiro serta Kiyotaka, dua adik laki-laki berumur 20-an, plus kakek dan nenek yang tinggal di rumah sebelah, dan tidak lupa... seekor anjing besar yang ramah, Leo namanya.

dokumentasi prpibadi
dokumentasi prpibadi
Ibu yang kupanggil dengan sebutan Okaa-san sangat ramah dan banyak bicara (talkative), sementara Oto-san (ayah) sangat sibuk dan irit bicara. Adik-adikku sebetulnya ramah, tapi mereka pun punya kesibukan sendiri yang membuat aku jadi jarang bertemu mereka. 

Kalau bertemu, ya ngobrol juga, dengan bahasa sederhana, dengan bantuan kamus elektronik yang selalu kubawa dalam saku. Berguna sekali lho! Sedangkan Leo sendiri, yang diaku sebagai salah satu anggota keluarga, sempat membuatku takut bahkan sebelum aku berjumpa dengannya!

Sebagai seorang muslim, aku tahu bahwa bersentuhan dengan anjing bisa menjadi najis yang membuat tidak sahnya shalat kita, maka sedapat mungkin tentu aku pun menghindari anjing dan jadi sedikit phobia. Tapi Leo ini... dia sebetulnya anjing yang ramah. Harus kuakui itu. Dia menggonggong menyambutku pada hari pertama kedatanganku di sana. 

Untungnya, keluarga angkatku sudah kuberitahu tentang ketakutanku pada anjing, sehingga mereka tidak membiarkan Leo lepas dari rantainya selama aku ada di sekitar rumah. Walaupun pernah juga dalam satu kesempatan, sepulangnya aku dari berjalan-jalan dengan sesama homestay-er (eh, apakah istilahnya sudah tepat?), Leo menyambutku dengan gongongan ramah dan dia berusaha mendekati aku untuk memberi salam selamat datang (mungkin maksudnya begitu...). 

Tapi aku jadi begitu panik dan berlari-lari mengelilingi Okaa-san yang sedang berusaha menangkap rantai Leo yang juga berlarian mengitari Okaa-san untuk meraihku. Iiih, horor! Jangan sampai terulang lagi deh.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Selain pengalaman 'seru' dengan Leo, di rumah itu aku membantu pekerjaan rumah dan juga pekerjaan pertanian seperti menyortir Piman (semacam Paprika), menimbang dan memasukkannya ke dalam bungkus plastik untuk dijual, menyiangi tanaman Tomat, menanam Paprika di rumah vinyl (semacam rumah kaca, terbuat dari plastik) dan juga menanam padi! Hehe... di Indonesia saja aku belum pernah lho nyemplung ke sawah. 

Saking seriusnya aku membantu sampai membungkuk--bungkuk menancapkan batang-batang padi muda ke dalam tanah lembut di sawah, kamera saku yang kusimpan di saku ikut nyemplung juga. Ah... padahal kamera ini adalah teman sejatiku selama traveling di Jepang. Ini sih pertanda aku harus beli kamera baru. Jadi punya alasan kan untuk beli yang baru? Hehe...

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Selain berkutat dengan pekerjaan di rumah, aku berkesempatan juga untuk berwisata dengan 3 orang peserta homestaylain yang berada di kota yang sama denganku. Kami sempat pergi ke objek wisata monumen batu bersejarah, museum kota, berkunjung dan bermain bersama murid-murid di sebuah TK, makan siang dan bersantai di Onsen (pemandian air panas khas Jepang. 

Tapi aku tidak ikut mandi bersama lah!). Sempat pula aku ikut pesta gyoza(sejenis masakan Cina yang cukup populer di Jepang), jadi 'bintang tamu' di sebuah klub nyanyi lansia, juga berkaraoke-ria di kediaman walikota Takanabe. Kami semua didaulat untuk menyanyikan lagu khas dari negara kami masing-masing. 

Tembang andalanku adalah 'Bengawan Solo'. Lagu tersebut ternyata sangat familiar di kalangan orang-orang berusia lanjut di Jepang, katanya mirip dengan lagu Jepang. Hmm...? Masa sih? Mereka sangat menikmati lagu tersebut walaupun kubawakan secara akapela alias tanpa iringan musik. Satu-dua kali sih senang juga bisa menyanyikan 'Bengawan Solo'. Tapi kalau setiap sesi menyanyi aku mesti membawakan lagu itu, hm... bosan juga kali ya?

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Dengan keluarga angkat pun aku punya kegiatan yang variatif. Di hari kedua kedatanganku, Mizue si sulung mengajak jalan-jalan ke situs kuburan tua yang unik, sambil ke supermarket untuk berbelanja keperluan harian. Di kesempatan lain, Mizue juga menemani aku ke festival bunga di Miyazaki. Cantik sekali. Hari lainnya, Okaa-san yang hobi memasak membawaku ke acara klub masaknya. 

Okaa-san juga mengajakku menonton pagelaran tari di kuil, tempat Kouichiro, adik laki-laki yang kedua menggelar debutnya yang pertama dalam menari (jangan tanya tarian apa, aku sendiri kurang mengerti!) Aku juga ikut jadi supporter dalam pertandingan voli remaja di mana Kouichiro dan Kiyotaka ikut memperkuat tim voli daerah mereka. 

Selain itu, aku juga berkesempatan untuk berkunjung ke salah satu TK lokal dan mengikuti kegiatan di sana seharian. Senang sekali bisa terlibat langsung dalam kegiatan sekolah di Jepang, walaupun dengan kemampuan komunikasi yang terasa sangat membatasiku, tapi anak-anak itu ternyata sangat pengertian. 

Mereka tetap semangat mengajakku ikut terlibat dalam kegiatan mereka, selain sibuk bertanya, terutama tentang apa yang ada di balik kerudung yang kukenakan. Ah... biasa kok, seperti kepala manusia pada umumnya ;) Hehe...

Dua minggu yang berkesan di Kyushu tentu saja harus berakhir. Di acara perpisahan, kami diminta untuk menampilkan satu atraksi. Aku dan Mizue beserta Okaa-san dan seorang kawan peserta homestaylain beserta ibu angkatnya menyanyikan lagu 'Oh Kecilnya Dunia' dalam 2 bahasa, Indonesia dan Jepang. Kami berlatih menyanyikan lagu itu bersahut-sahutan dengan teknik kanon. Latihannya tidak lama, tapi hasilnya... tidak mengecewakan-lah. (Aku senang, dalam kesempatan itu, aku tidak perlu menyanyikan lagu 'Bengawan Solo' lagi. Haha...!)

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Setelah acara perpisahan itu kami berpencar untuk kembali ke daerah asal kami masing-masing. Aku kembali naik kapal feri menuju Osaka sebelum dilanjutkan dengan bus kembali ke Gunma. Di atas feri, kembali kami melanjutkan bincang-bincang seru tentang pengalaman kami selama di tempat homestaykami masing-masing dengan beberapa kenalan baru yang kami temui 2 minggu sebelumnya di atas feri yang sama. 

Tapi perbincangan itu tidak lama, karena satu demi satu dari kami 'tumbang' akibat guncangan laut yang bergejolak. Aku sempat memberi suplai obat pereda sakit kepala yang kubawa dari Indonesia untuk seorang kawan (katanya kemudian, sangat membantunya untuk beristirahat). Aku sendiri juga terserang mabuk laut. Gelombang di area laut itu memang mantap mengocok isi perut.

Sampai di Osaka, lagi-lagi aku dan Faried beserta 2 kawan lain janjian untuk jalan-jalan dulu sambil menunggu jadwal keberangkatan bus malam harinya. Kali ini kami mengunjungi sebuah kompleks kuil dan Sea World yang terletak di lokasi yang tidak terlalu berjauhan. Efisiensi waktu dong, walaupun tetap harus capek naik-turun tangga untuk menuju stasiun kereta bawah tanah. 

Untungnya, petunjuk arah dan panduan peta yang kami dapat secara gratis dari pusat informasi turis sangat informatif sehingga memudahkan kami untuk mencari lokasi yang kami tuju. Yang juga memudahkan kami adalah ketersediaan locker penyimpanan barang di stasiun untuk menyimpan travelling bag kami sehingga kami bisa berjalan-jalan sambil melenggang, tanpa perlu direpotkan oleh barang bawaan kami yang sudah bertambah berat dengan oleh-oleh.

Sungguh, pengalaman dua minggu itu sangat kaya manfaat. Selain pemahaman bahasa Jepang yang meningkat pesat (karena mau tak mau, mesti aktif kugunakan selama di sana), adanya transfer budaya juga menumbuhkan saling pengertian di antara kami. 

Komunikasi antarkami masih terjalin hingga aku melanjutkan program trainingku selama di Jepang. Saling telefon dan berkirim surat juga masih kami lakukan. Ketika program training yang kujalani akhirnya selesai, Okaa-san bahkan mengirimiku kue buatannya sendiri beserta youkan (sejenis dodol) sebagai bekal oleh-oleh untuk keluarga di Indonesia. Ah... aku jadi ingat janjiku untuk mengirimi Okaa-san kaset berisi lagu 'Bengawan Solo'. Semoga Okaa-san menikmatinya.

Hingga saat ini, sesekali aku dan Okaa-san masih saling berkomunikasi, melalui aplikasi line di smartphone kami, atau bicara langsung di telfon. Ah... untuk urusan bicara, aku mulai nggak Pe-De nih. Kemampuanku berkomunikasi dalam bahasa Jepang menurun drastis karena jarang digunakan. Jadi suka loadinglama kalau bicara dengan Okaa-san yang masih selalu talkative. 

Tahun baru biasanya jadi momen untuk saling menyampaikan ucapan tahun baru. Hmm... mungkin aku perlu berlatih dulu sebelum menelfon Okaa-san di tahun baru nanti. Yosh... ganbatte!!! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun