Pribadi Anda bukanlah sesuatu yang ditakdirkan, melainkan harus dibentuk terus menerus melalui serangkaian pilihan atas tindakan (John Dewey)
Setelah setengah tahun (efektifnya sih hanya 5 bulan) menjalani program belajar bahasa Jepang intensif, tibalah masa liburan musim semi di bulan Maret. Menimbang masa liburan yang cukup panjang juga tidak adanya rencana untuk mudik ke Indonesia, maka aku memutuskan untuk mengikuti program Homestayselama 2 pekan yang diorganisir oleh Yayasan Karaimo.Â
Program homestay ini diadakan di pulau Kyushu, jauh juga lho dari Gunma, tempat tinggalku. Kebetulan Faried, satu teman lain dari Indonesia, juga berminat ikut serta, jadi aku punya teman untuk travelling.
Naik bus malam ke Osaka, makan waktu semalam suntuk. Pagi hari setibanya di Osaka, kami menyempatkan diri untuk sedikit jalan-jalan keliling kota mengunjungi Kastil Osaka. Sempat pula berfoto-ria di kebun bunga Plum yang berbunga warna-warni nuansa putih hingga merah tua. Cantik! Sore hari, kami harus berkumpul di dermaga kapal feri untuk bertemu dengan anggota rombongan lain dan berangkat bersama-sama ke Kyushu. Beruntungnya punya teman seperjalanan, aku jadi punya teman nyasar. Haha...!Â
Maklumlah, kemampuan bahasa Jepang kami ternyata masih minim sekali untuk dipakai berkomunikasi dengan penduduk asli Jepang. Bila kami berhasil bertanya dengan sukses, seringkali jawaban yang diberikan penduduk Jepang asli itu disampaikan dalam kalimat yang teramat sopan namun rumit, sehingga membuat kami harus berpikir ulang untuk mengerti artinya. Bila kami berhasil menangkap satu-dua kata kuncinya, itu pun rasanya sudah sangat melegakan. Ah...
Di Kyushu, aku dan Faried berpisah. Aku ditempatkan di wilayah Miyazaki, kota Takanabe, untuk tinggal bersama satu keluarga petani sayuran. Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, Mizue si sulung perempuan, dan Kouichiro serta Kiyotaka, dua adik laki-laki berumur 20-an, plus kakek dan nenek yang tinggal di rumah sebelah, dan tidak lupa... seekor anjing besar yang ramah, Leo namanya.
Kalau bertemu, ya ngobrol juga, dengan bahasa sederhana, dengan bantuan kamus elektronik yang selalu kubawa dalam saku. Berguna sekali lho! Sedangkan Leo sendiri, yang diaku sebagai salah satu anggota keluarga, sempat membuatku takut bahkan sebelum aku berjumpa dengannya!
Sebagai seorang muslim, aku tahu bahwa bersentuhan dengan anjing bisa menjadi najis yang membuat tidak sahnya shalat kita, maka sedapat mungkin tentu aku pun menghindari anjing dan jadi sedikit phobia. Tapi Leo ini... dia sebetulnya anjing yang ramah. Harus kuakui itu. Dia menggonggong menyambutku pada hari pertama kedatanganku di sana.Â
Untungnya, keluarga angkatku sudah kuberitahu tentang ketakutanku pada anjing, sehingga mereka tidak membiarkan Leo lepas dari rantainya selama aku ada di sekitar rumah. Walaupun pernah juga dalam satu kesempatan, sepulangnya aku dari berjalan-jalan dengan sesama homestay-er (eh, apakah istilahnya sudah tepat?), Leo menyambutku dengan gongongan ramah dan dia berusaha mendekati aku untuk memberi salam selamat datang (mungkin maksudnya begitu...).Â