Masa training yang kujalani selama 1,5 tahun sungguh membawa manfaat besar. Bukan hanya ilmu di bangku kuliah yang kudapat, tapi juga ilmu berinteraksi dengan sesama yang membuat hidup lebih teratur... dan nyaman lho! Beberapa contoh yang kuungkap di bawah ini bisa jadi cermin buat kita, bangsa Indonesia yang konon berpenduduk ramah-tamah. (Masih) benarkah?
Di bulan kedua kedatanganku di Jepang, Sensei mengundangku untuk ikut dalam proyek kegiatannya di kota Kiryu, kampus lain Gunma University. Ya... semacam kampus Jatinangor Unpad yang terpisah dari Dipati Ukur, atau kampus Depok UI yang berjarak cukup jauh dari kampus Salemba.Â
Seperti itulah kira-kira gambaran kampus Universitas Gunma Maebashi dan Kiryu. Suasana kota yang berbeda, dengan hanya berbekal alamat kampus tidak menjadi petunjuk yang jelas bagiku dan seorang teman, seorang Chinese-American yang juga belum begitu lancar berbahasa Jepang. Pagi itu kami memang sudah berjanji untuk berangkat sendiri (tepatnya berdua) ke kota Kiryu, bermodal optimisme dan sedikit nekaaat.
Dengan kereta api kami menuju Kiryu, dan minta petunjuk pada petugas loket di stasiun tujuan. Kampus Kiryu terletak agak di bagian utara kota, melewati beberapa ruas jalan dan beberapa persimpangan serta belokan, menurut peta yang kami dapat dari petugas stasiun (waktu belum musim google map-lah :p). Hmm...Â
Ketika kami menanyakan arah pada seorang bapak, beliau dengan sangat ramah menunjukkan arah yang dimaksud, bahkan ikut berjalan sepanjang beberapa ruas jalan dengan kami. Ada pula seorang ibu yang tanpa diminta ikut nimbrung untuk memberi penjelasan. Ah... sungguh pengalaman yang melegakan.Â
Sampai kampus Kiryu, alhamdulillah ternyata kami tepat waktu, dan bisa ikut serta mengikuti briefing singkat yang disampaikan oleh senseiku. Terima kasih kepada para penunjuk jalanku. ;) Setelah momen itu, beberapa kali pula aku berkesempatan ke kota Kiryu untuk mengunjungi beberapa teman yang memang tinggal di kota itu. Kenangan manis atas keramahan warganya membuatku merasa nyaman datang ke kota tersebut berkali-kali.
Satu kota lagi yang menarik perhatianku adalah kota Oizumi, sebuah kota kecil di sebelah utara Gunma. Di kota ini terdapat komunitas orang asing yang cukup besar, terutama warga negara imigran dari Brazil atau Peru.Â
Dengan demikian, bahasa kedua di kota ini adalah bahasa Portugis atau Spanyol. Balai kota memiliki penterjemah resmi yang menguasai kedua bahasa tersebut. Penduduknya pun dengan nyaman bisa hidup di sana walaupun mereka tidak cukup mengerti bahasa Jepang, karena tetangga sebelah menyebelah, juga berbagai toko dan kantor, dikelola oleh orang-orang dari negara mereka.Â
Bahkan petunjuk jalan pun ditulis dalam 2 bahasa, Jepang dan Portugis. Orang-orang Peru yang berbahasa Spanyol sebagai bahasa ibu pun tidak merasa kesulitan karena kedekatan rumpun bahasa dengan bahasa Portugis, sehingga mereka dapat mengerti petunjuk yang disediakan dalam bahasa Portugis.
Sensei mempunyai proyek binaan di kota tersebut, yang melibatkan tim kerja mahasiswanya untuk berkunjung ke kota tersebut pada saat-saat tertentu, biasanya untuk penyelenggaraan kegiatan supportif untuk warga negara asing di sana. Kami pun tergabung dalam sebuah klub semacam unit kegiatan mahasiswa yang dinamai Friendship Project. Menyenangkan bergabung di klub ini.
Aku dan Claudia menjadi 2 orang asing dalam tim pimpinan sensei tersebut. Claudia adalah seorang psikolog keturunan Jepang dari Brazil yang juga hanya paham bahasa percakapan sederhana. Kadang kami frustrasi mendengarkan penjelasan sensei secara panjang-lebar dalam bahasa Jepang tanpa bisa mengerti keseluruhan isi pembicaraannya.Â