Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yamada Denki dan Sebuah Dedikasi

2 Desember 2017   06:51 Diperbarui: 2 Desember 2017   21:27 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari pertamaku di Jepang diawali dengan perburuan dan pemilihan makanan halal secara cermat. Harus itu! Sebetulnya aku berbekal berbungkus-bungkus abon dan serundeng dari Indonesia, tapi tak bisa memasak nasi karena belum memiliki rice cooker, sedangkan di Jepang tidak ada warung nasi yang bisa menjual nasi dan sayur saja. Berharap sih ada warteg atau kedai naspad di sana (uhm, peluang bisnis nih... ;) ). 

Saat itu aku mencukupkan diri dengan makan onigiri (nasi kepal) isi tuna. Enak, dan Insya Allah halal, referensi beberapa teman Indonesia sebelum kami berpisah di bandara Narita tempo hari. Kadang-kadang aku menyempatkan diri memasak bubur untuk sarapan, dengan campuran sayur dan udang. Enak juga lho. 

Setelah masa kuliah (tepatnya training) dimulai, aku diberitahu bahwa aku mendapatkan seorang tutor selama aku menjalani masa training di sana. Tutorku saat itu bernama Megumi Nakai, seorang mahasiswi tingkat akhir jurusan bahasa Inggris. Dia seorang gadis muda yang aktif dengan berbagai kegiatan hingga sebetulnya jarang berkesempatan untuk bertemu secara rutin denganku, terlebih lagi dia sedang menyelesaikan tugas akhirnya sebagai syarat kelulusan. 

Dalam satu kesempatan, 'kubajak' dia untuk menemaniku membeli rice cooker, dan tentu saja dia tahu tempat terbaik untuk membeli alat-alat kebutuhan rumah tangga seperti itu. Yamada Denki jadi pilihan terbaik. Dia membawaku dengan mobilnya ke salah satu jaringan toko barang-barang elektronik besar, yang sebetulnya tidak terlalu jauh dari asrama tempatku tinggal itu. Setelah berkeliling sebentar untuk melihat beberapa model rice cooker, aku memutuskan untuk membeli satu yang berukuran kecil. 

Ternyata, buku panduannya tidak disertai dengan petunjuk berbahasa Inggris, hanya bahasa Jepang yang penuh dengan berbagai karakter kanji yang rumit dan belum kupelajari. Tapi kupikir... apa susahnya sih memasak nasi? Tinggal memasukkan nasi dan air, tekan tombol on, tunggu beberapa saat, maka beras akan menjelma menjadi nasi yang gurih. Begitu pikirku saat itu. Dan pada hari itu juga, aku bisa menikmati nasi putih yang harum... dengan lauk yang kubawa dari Indonesia. Ennak! 

Malam harinya, kumatikan alat itu bahkan mencabut kabelnya dari aliran listrik. Niatnya sih menghemat energi, supaya rice cooker yang merangkap warmeritu tidak menyala semalaman. Paginya, setelah bangun untuk shalat subuh, kunyalakan kembali rice cooker miniku dengan menekan tombol timer, 10 menit! Ternyata, setelah 10 menit usai, nasi di dalamnya belum hangat. 

Maka kutekan tombol lainnya, dan kutunggu beberapa saat. Eh.. ternyata nasi hangat masih belum bisa kudapatkan. Pijit tombol sana-sini, dan akhirnya tak sabar, kumakan saja nasi dingin itu. Apa boleh buat. Sore hari sepulang dari kampus, kucoba lagi mengutak-atik beberapa tombol di badan rice cooker baruku itu. Lampu indikatornya menyala, tapi nasi panas tak kunjung kudapatkan. Hmh! Ada apa gerangan?

Akhirnya kuambil semua nasi di dalamnya, niatnya akan kubuat nasi goreng, soalnya aku ingin makanan panas. Tapi... aku terkejut mendapati arang di bagian bawah wadah berlapis teflon itu. Ya, arang, bukan kerak! Wah... ini tentu pertanda tidak baik. Aku malu untuk minta tolong dan mengakui kesalahanku (secepat itu) pada tutorku, walaupun aku tahu dia sangat mungkin bisa menolongku.

 Maka kubiarkan waktu berlalu. Satu pekan... dua pekan... hingga nyaris sebulan, dan selama itu aku lagi-lagi memuaskan diri dengan makan modivikasi bubur manado yang sarat sayuran atau onigiri tuna. Namun akhirnya dengan malu-malu, aku bertemu kembali dengan tutorku, dan menyampaikan masalah rice cooker-ku padanya. Dia tersenyum-senyum saja, dan tetap bersedia membantuku. 

Lagi, dibawanya aku ke toko Yamada Denki. Kebetulan, akupun berniat untuk membeli kamus elektronik. Megumi juga yang menjadi sumber referensi. Dia sungguh-sungguh memberi bantuan yang diperlukan. Makoto ni arigatou gozaimashita.*) Saat itu, jenis kamus elektronik yang kuinginkan sedang tidak tersedia, tapi dengan membayar uang muka, pihak Yamada Denki berjanji untuk menghubungiku kembali bila benda itu siap kubawa. Maka hari itu aku pulang dengan tangan hampa.

 Maksudnya... rice cooker kutinggal di sana untuk diperbaiki, sedangkan kamus pun belum kudapatkan. Beberapa hari kemudian, aku mendapatkan telefon dari toko Yamada Denki, sesuai dengan janji mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun