Mengejar mimpi nonton Negeri 5 Menara, aku pengen nonton gratis. :p Dan ketika keinginan itu sudah terucap, semesta akan mendukung. Ketemuu aja link-nya untuk dapat tiket gratis ini. Nggak dari Kompasiana, aku dapat juga dua tiket nonton Negeri 5 Menara gratis. Thanks to PertaminaRacing, via facebook dan twitter. Nah, jejaring sosial ada manfaatnya juga kan buat kejar gratisan? ;) Sekitar pertengahan bulan Maret, tiket itu sudah di tangan. Aku langsung booking ponakan yang sudah jelang remaja untuk menemani nonton di Studio 21. Ibunya berpesan agar aku mengajaknya ikut menonton, dengan tujuan untuk menginspirasi dia. Eh ternyata adiknya yang masih kelas 4 SD mau ikut nonton juga. Hayu deh, kita nonton bareng. Maka janjianlah kita di Bandung Indah Plaza, tempat Empire 21 berada. Ketemuan di sana, dan siap-siap mendapatkan pengalaman seru nonton kisah Alif Fikri bersama teman-temannya, Sahibul Menara. Sebelum nonton film ini, aku sudah membaca novel The Land of 5 Towers, Negeri 5 Menara edisi Inggrisnya. Menarik. Permainan olah kata dari sang penulis yang notabene berlatar belakang seorang jurnalis, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, menjadi sesuatu yang unik ketika memaparkan kejadian yang dialami sang tokoh di dalam tembok asrama. Ini jelas merupakan paduan yang unik. Dan tentunya aku berharap filmnya tidak kalah menarik dari bukunya. Tapi... ternyata aku harus kecewa. [caption id="" align="alignright" width="285" caption="Poster N5M, courtesy of id.wikipedia.org"][/caption] Jalan cerita yang ditampilkan di film ternyata mengalami 'penyesuaian' alias tidak sama dengan apa yang sudah kutahu dari buku. Ketika kupikir jalan ceritanya akan seperti ini, ternyata ada hal tak terduga yang membuatnya berbeda. Misalnya tentang pagelaran mereka yang digelar oleh siswa kelas 2, padahal sejatinya mereka melakukan performance pada saat mereka sudah berada di kelas 5. Atau tentang episode wawancara yang kemudian terjadi dengan kyai Rais, atau tantangan (taruhan?) mengenai foto dengan  Sarah yang merupakan putri salah seorang ustadz yang baru kembali dari luar negeri. Dalam film, digambarkan bahwa Sarah ini adalah keponakan kyai Rais yang berlibur di pesantren Madani. Tidak lazim, rasanya. Dan penokohan, ouch... sangat jauh dari gambaran yang kupikir akan muncul dalam film. Ikang Fauzi berperan sebagai kyai Rais? Hmm... awalnya sulit 'menerima kenyataan' bahwa Ikang Fauzi yang adalah seorang (mantan) rocker, ternyata mewujud dalam sosok kyai Rais. Tapi kemudian, hm... bolehlah. Aku pasrah. Randai? Tak kuduga sosoknya digambarkan seperti itu. Kupikir, seorang bocah dari Sumatera Barat akan terlihat santun, berambut pendek, dengan wajah aristokrat. Tapi lagi-lagi aku harus kecewa. Randai sama sekali jauh dari itu, bahkan Alif pun awalnya agak-agak gondrong. Tapi aku suka beberapa sosok di film itu. Donny Alamsyah yang memerankan ustadz Salman, misalnya. Karakternya pas. Sementara Mario Irwinsyah yang berperan sebagai kak Iskandar, salah satu senior, terlihat sangat kharismatik -biarpun sebetulnya agak terlalu tua ya, untuk ukuran anak SMA :p Haha... masih adaaa saja kritiknya. Ketika di akhir film diperlihatkan sosok para Sahibul Menara, ouch, aku harus kecewa lagi (untunglah, untuk yang terakhir kalinya). Sosok Alif Fikri diperankan oleh Aryo Wahab? Sementara Atang diperankan oleh salah satu personil P-Project. Aah... rasanya kok nggak pas ya? Tapi ini kan hanya visi dari seorang penonton. Untuk para penonton lain mungkin itu oke-oke saja, bahkan oke banget. Ya itu terserah penilaian kita masing-masing kan? Yang jelas, 'mantra' man jadda wa jada, terasa cukup kental di film ini. Sejak awal, terlihat dari dimulainya pertentangan keinginan dari kerasnya hati Alif yang ingin ke sekolah umum vs kebulatan tekad amak yang bersikukuh untuk mengirim Alif ke pesantren. Dan niat baik akan menang juga pada akhirnya. Alif menerima niat baik amaknya. Setelah itu, berlanjut lagi dengan kesungguhan hati dan sikap Alif dan teman-temannya, termasuk seluruh penghuni pesantren saat menjalani keseharian di sana. Sayangnya, perjuangan akhir saat mereka menjalani ujian kelulusan tak tergambarkan di film ini. Namun pendeknya, tekad mereka mengejar mimpi ke lima negeri dengan menara impiannya masing-masing, tergambarkan, dan tercapai. Tuntas. Inspirasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H