seiring majunya teknologi ,nyatanya berbanding terbalik dengan pola pikir manusia yang semakin primitif. Berbagai macam cara kemudian dilakukan guna mencapaian kemakmuran , akhirnya upaya penyelesaiannya ditempuh melalui jalur-jalur yang tidak rasional misalnya pesugihan, perdukunan , penggandaan uang, bertapa ke gunung. minta restu dan cara-cara mistis lain. Entah cara-cara itu berhasil atau tidak (semoga saja tidak…)
namun dibalik itu kitapun begitu mudahnya percaya bahwa ilmu pengetahuan itu objectif, mutlak dan tidak terbatas pada kemungkinan-kemungkinannya, sama mudahnya ketika kita percaya pada takhayul. Jauh-jauh hari kemudian kita pun mendapati bahwa sciences nyatanya bersifat empiris serta kondisional. Dengan demikian pengetahuan yang semula menjanjikan kemungkinan tidak terbatas, sekarang menunjukkan batas-batasnya, yakni sebatas kondisi potensial manusia. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan berurusan dengan realitas yang terjadi dimasyarakat
boleh dikata takhayul dan sciences sangat erat hubungannya. Takhayul memaparkan konsep-konsep fantasi, kemudian sciences mengaplikasikannya kealam nyata. Takhayul membuka jalan bagi sciences untuk membuktikan bahwa bumi itu bulat dan tidak flat. Sedang sciences mewujudkan mimpi manusia ( awalnya dianggap takhayul) dengan mendaratkan manusia pertama ke bulan dan masih banyak contoh lain yang membuktikan bahwa sciences dan takhayul adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dari realita manusia.
Manusia menciptakan ilmu pengetahuan dan meng-ada-kan takhayul (mitos-mitos), sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya serta motif-motifnya.keduanya diciptakan melalui proses berantai dari usaha manusia untuk mencapai tujuannya, entah tujuan tersebut sebatas imajinatif belaka atau telah sampai pada taraf pengaplikasiannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H