Mohon tunggu...
Fransiskus Kurniawan
Fransiskus Kurniawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Cuma seorang anak petani yang hidup dibelantara pegunungan menoreh.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Ndeso" ala Umat Wilayah Sadang

21 Oktober 2012   02:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:35 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ndeso"

Minggu pagi yang dingin, tak biasanya jalan kecil di perbukitan Sadang, Bedono berhias dedaunan warna-warni. Pagi itu umat Paroki St. Thomas Rasul Bedono bersama-sama memperingati pesta nama Gereja Katolik Maria Ratu Rosario yang bertempat di kapel wilayah Sadang. Suguhan visual yang unik, di dalam kapel tak ditemukan hiasan bunga, hanya daun puring, janur kuning dan dedaunan lainnya yang dirangkai indah pada setiap sudutnya. Orang-orang telah berkumpul, para wanita mengenakan kebaya tanpa sanggul dan para pria mengenakan kain lurik, celana komprang, dengan hiasan ikat kepala, caping ataupun peci. Sementara itu anak-anak berlarian dengan memakai mahkota dari dedaunan. Seluruh petugas, tata liturgi beserta umat yang ikut dalam rangkaian perayaan pesta nama tersebut mengenakan pakaian jawa khas "ndeso

/></p><p style=
/></p><p style=

/></p><p style=
/></p><p style=
Rangkaian acara dibuka dengan misa yang dipimpin oleh Rm. Patricius Hartono Pr pastor paroki St. Thomas Rasul Bedono. Prosesi misa berlangsung selama dua jam diiringi dengan tetabuhan gamelan Jawa Slendro yang sangat kental dengan suasana pedesaan. Kapel Sadang yang kecil tidak mampu menampung banyak umat yang berpartisipasi dalam perayaan ini. Namun para umat rela duduk diluar bahkan hingga menempati teras-teras rumah yang berada di sekitar kapel. Meskipun begitu, umat tetap mengikuti misa dengan khusuk.

"Ogoh-ogoh"

Berawal dari lembah, ogoh-ogoh setinggi 3 meter menari-nari dipanggulan para petani yang dikawal “buta-buta” reog meniti perjalanan menaiki bukit Sadang seusai misa. Badannya yang merah, dan taring yang menyeruak menggambarkan keangkara-murkaan yang tak terbendung, sewaktu-waktu siap merasuki siapa saja yang disentuhnya. Begitu pula sebatang rokok dan blekberi yang senantiasa digenggam sang ogoh-ogoh, citra hidup pragmatis pada jaman modern hendak divisualisasikan. Bahwa sebagai buah atas peradaban yang berkembang, beragam hasil olah teknologi rupanya bisa mempunyai dua muka, sebagai teman yang membantu ataupun sebagai musuh yang merusak.

Seakan sudah ada petunjuk, masyarakat desa beramai-ramai menunggu dan menghadang kedatangan ogoh-ogoh tersebut di depan kapel. Para penduduk menyabet, melempari ogoh-ogoh tersebut dengan apa saja yang mereka jumpai. Ada yang mengunakan batu, banyak pula yang menggunakan ranting dan dedaunan. Riuh! Segala hal yang jahat hendaklah dijauhkan dari desa yang tentram dan raharja.

Ogoh-ogoh pun diarak bersama-sama menuju lapangan untuk mereka musnahkan. Bersama dalam arak-arakan tersebut, dua buah gunungan hasil bumi ikut dibawa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Kuasa atas berkah yang telah diberikan kepada penduduk desa. Ratusan umat mengelilingi lapangan yang luasnya tak lebih seukuran dengan lapangan voli. Ogoh-ogoh berdiri menjulang ditengah-tengahnya, kerumunan masyarakat yang berkumpul tak sabar hendak melihat api yang akan melahap sosok keangkaramurkaan tersebut menjadi debu. Dan semua orang bersorak! Api membumbung tinggi mejalar menggerogoti ogoh-ogoh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun