Sikap dan Toleransi Umat Beragama di Masa Pandemi
Saat ini seluruh dunia tengah diguncang oleh kepanikan juga kekhawatiran, hal ini dikarenakan munculnya suatu virus yang mana virus tersebut mampu membunuh hingga puluhan ribu orang yakni virus corona atau Covid-19. Munculnya virus ini mengakibatkan duka yang mendalam bagi seluruh umat manusia. virus corona bukan hanya merenggut ribuan nyawa tetapi juga mengubah tata cara kehidupan di seluruh dunia mulai dari interaksi sesama maupun proses berhubungan dengan Tuhan. Virus corona juga berdampak dalam kehidupan keagamaan umat manusia. gereja, masjid, kuil, dan sinagoga mengubah tata cara ibadah demi menahan penyebaran penyakit Covid-19.
Berbagai macam reaksi muncul dalam menyikapi Covid-19 ini, terutama dikalangan umat beragama, yang mana sebagian umat beragama masih tetap bersikukuh untuk tetap menjalankan ibadah diluar rumah dengan berbagai alasan. Orang yang memiliki prinsip demikian tetap menjalankan kehidupan sehari-hari, tanpa memperdulikan anjuran otoritas setempat terkait penanganan pandemi Corona.
Dalam pemberlakuan social distancing masih ada sebagian orang atau umat agama tidak mematuhi aturan yang telah ditetapkan yang mana dalam arti mereka masih bersikap egois dengan keadaan saat ini. Melakukan ibadah tanpa peduli dengan keselamatan manusia lainnya. Sama halnya dengan ibu-ibu dikota Daego korsel di awal artikel, ia datang kegereja untuk beribadah, ia merasa sedang berbuat kebaikan, namun nyatanya ia sedang menciptakan mudharat untuk 6 ribu orang, menjadi malapetaka untuk negaranya. Di Malaysia juga, tabligh akbar yang diselenggarakan oleh jamaah tabligh di masjid Sri Petaling Kuala Lumpur pada 28 februari hingga 1 maret menjadi sumber penularan virus corona. Hampir 2/3 dari total 673 kasus covid-19 di Malysia terkoneksi dengan acara tabligh akbar tersebut. Celakanya, dari total 16 ribu jamaah yang hadir dalam tabligh akbar tersebut, 1.500 diantaranya berasal dari luar Malysia, termasuk 700 orang dari Indonesia, 200 orang dari Filipina dan 95 orang dari Singapura. Malysia pun menjadi hot spot penyebaran virus corona di Asia Tenggara. Begitu pula halnya dengan para peserta ijtima di Gowa, Sulsel, ataupun para uskup yang melanggar pentasbihan di NTT. Sangat ironis memang, jika beragama malah jadi menjauhkan kita dari kemanusiaan.
(sumber: www.suaraindonesia.com)
adapun dalam hadits Rasulullah SAW sudah jelas tertera “dari Siti Aisyah RA, ia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah SAW perihal tha’un, lalu Rasulullah SAW memberitahukanku, dahulu tha’un adalah azab yang Allah kirimkan kepada siapa saja yang dia kehendaki, tetapi Allah, menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Maka tiada seorang pun yang tertimpa tha’un, kemudian ia menahan diri di rumah dengan sabar serta mengharapkan ridha-Nya seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan menimpanya selain telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid”, (HR. Bukhari, Nasa’i dan Ahmad). Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan saat wabah, yakni untuk tidak keluar rumah, sabar, serta meningkatkan ibadah
(sumber: www.madaninews.id)
Masa inkubasi virus adalah 14 hari. Dan selama itu orang yang membawa virus (carrier) bisa tampak sehat, normal seperti orang sehat pada umumnya. Supaya orang-orang sehat yang membawa virus ini tidak menularkan lebih jauh ke orang lain, maka pemerintah mengambil kebijakan “social distancing” agar kita tidak berkumpul di kerumunan, disekolah, dikampus, dicafe, dimal, dan termasuk di rumah ibadah, karena kita bisa jadi pusat penularan. Itulah mengapa sekolah dan kampus diliburkan, para pekerja dihimbau untuk bekerja dirumah, dan pergerakan di luar rumah diminimalisir sekecil mungkin.
Pemerintah Indonesia sudah memutuskan menerapkan “social distancing” dan tes masal. Tugas kita adalah bersatu, bersama-sama mensukseskan penerapan kebijakan ini dan khususnya bagi umat beragama agar tidak bersikukuh untuk terus melakukan ibadah diluar rumah dan perlunya sikap toleransi atau menghormati satu sama lain demi kesehatan masing-masing. Para tenaga medis tanpa lelah berjuang di garda terdepan, mempertaruhkan jiwa mereka, menangani para pasien hingga dikarenakan itu beberapa para medis ada yang terkena infeksi covid-19 beberapa dari mereka ada yang meninggal. Hal paling sederhana yang bisa kita lakukan untuk membantu perjuangan mereka adalah dengan belajar, bekerja dan beribadah di rumah, menghindari kerumunan dan menjaga jarak, menjaga kesehatan dan kebersihan, serta membiasakan diri mencuci tangan. Dan tidak lepas dari itu, masing-masing agama mempunyai keyakinan kuat bahwa apa yang kini terjadi merupakan kebesaran Tuhan dan semuanya akan kembali kepada Tuhan, dalam arti, yang dilakukan umat beragama dengan berserah diri dan berdoa. Seperti tertera dalam Mazmur 62:8 TB “pada Allah ada keselamatanku dan kemuliaanku, gunung batu kekuatanku, tempat perlindunganku ialah Allah”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H