Mohon tunggu...
Cynthia Devy Alvyoni
Cynthia Devy Alvyoni Mohon Tunggu... Konsultan - Statistisi

ASN Badan Pusat Statistik Kab. Tabanan, Bali

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Rural Tourism sebagai All In One Solution untuk Pertanian Indonesia

19 Mei 2019   14:28 Diperbarui: 19 Mei 2019   14:48 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gemah ripah lipah loh jinawi. Begitulah kira-kira pujian yang dielukan untuk negeri ini. Lirik lagu keroncong yang dipopulerkan oleh Sundari Soekotjo tersebut masih terngiang di benak masyarakat Indonesia sampai sekarang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gemah ripah loh jinawi berarti kekayaan alam yang melimpah, tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya. Atas karunia tersebut, tidak mengherankan jika hal pertama tentang Indonesia yang terlintas dalam pikiran adalah kekayaan pertaniannya.

Indonesia termahsyur sebagai negara agraris. Namun seiring berjalannya waktu, transformasi struktur ekonomi dari agraris menuju industri tak dapat dihindari. Proses ini wajar dan terjadi hampir di seluruh negara di dunia. Tahun 1991 menjadi momentum awal transformasi di Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sejak tahun 1991 sektor industri mulai menggeser sektor pertanian dilihat kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 1991, share sektor industri pengolahan sebesar 21 persen, di atas sektor pertanian yang sebesar 19 persen. Kondisi terkini, share sektor pertanian pada tahun 2018 turun menjadi 12,81 persen saja. Meskipun demikian, transformasi yang terjadi di Indonesia tidak sertamerta membuat pertanian ditinggalkan. Sebagian besar masyarakat masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian

Pada Februari 2018, sebanyak 38,7 juta jiwa atau setara dengan 30 persen dari total tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor pertanian (Sakernas, BPS). Namun jika dilihat dari besaran nilai tambah per kapita yang dihasilkan, pada tahun 2018 rata-rata petani di Indonesia hanya mampu menghasilkan 49 juta rupiah dalam setahun. Angka ini menempatkan pertanian pada posisi tiga terbawah diantara nilai tambah per kapita seluruh sektor. Dibandingkan dengan sektor industri yang mampu menghasilkan 1,5 miliar rupiah dalam setahun, pertanian masih tertinggal jauh. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan petani perlu lebih diperhatikan.

Masalah ketidaksejahteraan yang dialami petani ini menimbulkan permasalahan lain di sektor pertanian. Belakangan, masalah regenerasi petani mulai banyak diperbincangkan. Fakta menunjukkan bahwa per Februari 2018, sebesar 50 persen tenaga kerja di sektor pertanian berumur 45 tahun ke atas (Kementan, 2018). Bahkan, proporsi umur 65 tahun ke atas masih sangat besar, yaitu 17,90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian kurang diminati oleh generasi muda sekarang. Kebanyakan generasi muda lebih memilih bekerja pada sektor lain yang dinilai lebih modern dan lebih menyejahterakan dibanding harus berpanas-panasan di lumpur dengan penghasilan yang pas-pasan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, jumlah tenaga kerja sektor pertanian berkurang cukup signifikan. Pada tahun 2018, jumlah tenaga kerja pertanian sebesar 38,7 juta sementara sepuluh tahun yang lalu jumlahnya 42,7 juta.

Selain dari sisi kuantitas, kualitas tenaga kerja pertanian saat ini sangat memprihatinkan. Sebanyak 68,95 persen didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan SD, Tidak Tamat SD, dan Tidak Sekolah (Kementan, 2018). Anggapan bahwa untuk menjadi petani tidak perlu sekolah tinggi-tinggi masih beredar luas di masyarakat. Lantas, bagaimana mungkin mengharapkan kemajuan sektor pertanian jika Sumber Daya Manusia (SDM) di dalamnya didominasi oleh penduduk usia lanjut dengan tingkat pendidikan tidak mumpuni?

Pemerintah tentu saja tidak tinggal diam melihat fenomena tersebut. Yang harus segera dilakukan adalah menarik minat pemuda yang berpendidikan tinggi sebanyak-banyaknya. Diperlukan perencanaan yang komprehensif agar pertanian kembali dilihat sebagai sesuatu yang prestisius. Sesuatu yang tidak akan terwujud apabila penghasilan para petani masih jauh di bawah profesi lain.

Jaminan kesejahteraan adalah faktor penarik utama agar generasi muda mau kembali melirik pertanian. Untuk mewujudkannya, modernisasi pertanian harus secepatnya dilakukan. Pemanfaatan teknologi mulai dari awal proses menanam sampai pemasaran menjadi salah satu jalan keluar untuk meningatkan produktivitas dan efisiensi produksi. Pada akhir prosesnya, manajemen resiko menjadi hal yang diperlukan.

Kementerian Pertanian (Kementan) sudah memikirkan semua aspek tersebut.  Bantuan Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan) sudah didistribusikan ke berbagai penjuru negeri. Tahun 2018, Kementan menganggarkan Rp 2,81 triliun untuk membeli 70.839 unit alsintan. Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Direktorat Jenderal Prasaranan dan Sarana Pertanian, Andi Nur Alam Syah mengatakan, program mekanisasi pertanian atau alsintan berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan petani dan tingkat produksi. Dengan alat yang modern, petani bisa olah tanah, tanam, panen sambil telepon dan berpakaian rapi. Ini mengubah mindset.

Dari sisi pemasaran, penggunaan teknologi informasi akan berdampak positif. Melalui sistem Pelayanan Informasi Pasar (PIP), Kementan sudah mulai memfasilitasi pemasaran online sehingga dapat memperpendek rantai pemasaran. Selama ini, petani tidak memiliki akses pasar langsung dan harus melalui tengkulak atau pedagang. Alhasil, profit margin yang mereka dapat lebih sedikit dan tidak dapat mendukung kesejahteraan hidup. Terkait dengan manajemen resiko, program terkini yang diluncurkan oleh Kementan adalah Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP). Asuransi ini dapat melindungi petani dari resiko gagal panen dengan memperoleh ganti rugi melalui klaim asuransi.

Program-program yang dicanangkan Kementan menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mendorong kemajuan pertanian. Namun tantangan ke depan, akankah pertanian selalu bergantung dengan bantuan-bantuan? Sejatinya untuk saat ini, bantuan memang dirasa perlu. Mengingat SDM di sektor pertanian kurang mumpuni. Tetapi seiring berjalannya waktu, mengandalkan bantuan saja tidak cukup. Inovasi-inovasi di bidang pertanian perlu digalakkan mulai sekarang.

Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui Pendidikan. Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) sudah diluncurkan Kementan 2018 silam. Polbangtan merupakan transformasi dari Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP). Tujuan dibentuk Polbangtan utamanya untuk menghasilkan wirausahawan muda di bidang pertanian. "Lulus dari Polbangtan harus menciptakan lapangan kerja, bukan mencari lapangan kerja," terang Menteri Pertanian, Amran Sulaiman.

Jika ada yang perlu ditambahkan, gagasan menarik untuk mengembangkan pertanian di era milenial adalah dengan rural tourism. Menggabungkan pertanian dengan pariwisata selain menarik juga sangat potensial untuk dikembangkan. Kepala BPS, Suhariyanto menuturkan, pada kuartal III 2017 terjadi pergeseran pola konsumsi dimana masyarakat Indonesia lebih memilih beriwisata (leisure) ketimbang menggunakan uangnya untuk berbelanja "Masyarakat mulai bergeser dari konsumsi non-leisure ke leisure, jadi ada indikasi yang kuat konsumsi leisure pada kuartal ini lebih kuat," ujar Suhariyanto usai konferensi pers terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III 2017 di Kantor BPS, Jakarta, Senin (6/11/2017).

Di negara lain yang pertaniannya sudah maju, Jepang misalnya, gagasan ini telah lama dikembangkan. Sejak tahun 1995, Pemerintah Jepang mengesahkan undang-undang untuk mendukung penggunaan daerah perdesaan sebagai kawasan pariwisata. Pemerintah Jepang gencar mempromosikan pembentukan penginapan pertanian (farm inns).

Penginapan pertanian adalah rumah pertanian pribadi, atau penginapan yang dibangun di atas lahan pertanian, yang menyediakan ruang bagi pengunjung dan memberi mereka kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pertanian, seperti menanam, memanen, dan penangkapan ikan. Model pariwisata seperti ini memiliki segmen pasar masyarakat perkotaan, bahkan bisa menarik minat wisatawan asing. Indonesia terkenal dengan keindahan alamnya di mata dunia. Tidak berlebihan jika mengharapkan rural tourism ini akan menarik minat mereka. 

Konsep rural tourism di Jepang menjadikan daerah perdesaan bukan hanya sekedar tempat di mana masyarakat pedesaan tinggal dan bercocok tanam, tetapi juga sebagai "properti publik nasional" di mana orang dapat bersantai dan menumbuhkan suasana yang tenang dan harmonis. Konsep ini juga mirip dengan agrowisata di Eropa Barat. Seandainya Indonesia juga mengadopsi konsep ini, daerah perdesaan yang notabene lahannya kian hari kian menyusut berganti bangunan-bangunan besar, dapat ditekan untuk pembangunan Kawasan Desa Pariwisata. All in one solution untuk memajukan sektor pertanian di tengah maraknya alih fungsi lahan untuk industri.

Di Indonesia, pengembangan pariwisata berbasis pertanian telah dilakukan dengan membentuk Komisi Wisata Agro di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Sejak tahun 2012, telah dicanangkan 19 titik masterplan Kawasan Pertanian maupun Agrowisata. Namun sepertinya, masterplan belum ditindaklanjuti secara maksimal. Gaungnya belum terlalu terdengar. Hanya beberapa agrowisata yang mampu berkembang. Sebagian besar lainnya terseok-seok untuk bertahan. 

Banyak agrowisata sulit berkembang karena kurang terawat dan minim inovasi. Wisatawan datang hanya untuk sekedar menghilangkan rasa ingin tau. Tidak ada kesan yang kuat yang membuat wisatawan ingin datang kembali. Misalnya wisata petik buah, atau tour melihat pengolahan kopi. Dalam pemasarannya, wisata potensial ini belum dikemas menarik, sehingga timbul keengganan wisatawan untuk mengulang pengalaman yang sama. 

Dalam memecahkan masalah packaging agrowisata, konsep rural tourism yang menawarkan penginapan pertanian dengan suasana perdesaan patut dipertimbangkan. Sejalan dengan target Menteri Pertanian, pemuda lulusan Polbangtan dapat diarahkan untuk membuka lapangan pekerjaan baru di bidang ini. Kendala biaya dapat diatasi dengan menarik investor dari dalam maupun luar negeri. Asalkan sudah direncanakan dengan baik, rasanya akan banyak investor yang tertarik. 

Bayangkan betapa indahnya memilik destinasi wisata yang mudah diakses, murah, sekaligus memberi pengalaman nostalgia pada masa lalu. Sebuah suaka bagi kehidupan kota yang serba cepat dan sumpek minta ampun. Suasana saat baru bangun tidur membuka jendela, menghirup udara sejuk sambil memandang hamparan sawah hijau diselimuti kabut dan embun. Menyeruput secangkir kopi diiringi suara keroncong Sundari Soekotjo yang mengalun. 

               Mungkinkah akan kembali kejayaan Indonesia

               Bak zaman majapahit dulu?

               Gemah ripah loh jinawi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun