Mohon tunggu...
Cyndhi Paramida
Cyndhi Paramida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Universitas Pamulang

Hobi membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengintip Kontroversi Putusan Hukum Pelaku Penyiraman terhadap Ketua Penyidik KPK

7 Mei 2023   19:37 Diperbarui: 7 Mei 2023   19:47 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus penyiraman Novel Baswedan bisa dianggap merupakan salah satu masalah hukum pelik di negeri ini. Setelah kasus penyiraman yang menimpa mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2007 itu, persoalan yang menimpa dirinya seakan-akan lenyap. Ironis, karena pelaku penyiraman itu seolah tidak dapat diketahui rimbanya. 

Publik lantas bertanya-tanya, sebegitu lemahkah penegak di negeri ini sehingga kasus yang terang-benderang ini tidak dapt diungkap. Desas-desus mengenai kasus kriminal yang menyebabkan hilangnya mata Novel Baswedan ini menunjukkan bahwa penyiraman itu konon dilakukan oleh orang yang merupakan orang penting di negeri ini.

Setelah sekian lama, hampir 3 tahun, akhirnya kasus Novel Baswedan pun berakhir dengan ditangkapnya orang yang diduga melakukan penyiraman tersebut. Namun, masalah bukannya terselesaikan, problem baru justru muncul di permukaan. 

Tuntutan terhadap pelaku terbilang sangat ringan dengan sanksi pidana penjara hanya selama 1 tahun. Publik pun dibuat heboh, dan jagat hukum dipenuhi dengan perdebatan seputar putusan pengadilan yang kontroversial itu. Lazimkah untuk orang yang telah menghilangkan penglihatannya walau hanya sebelah dituntut pidana hanya dengan 1 tahun penjara?

Menelaah kasus penyiraman yang dilakukan terhadap Novel Baswedan yang tersangkanya dijatuhi pidana 1 tahun penjara dan terbukti bersalah telah melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka-luka berat tampaknya mengharukan kita membuka kembali kitab-kitab hukum pidana agar tidak salah persepsi. 

Secara normatif, delik yang dikenakan kepada terdakwa adalah pasal Pasal 353 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Jika mengacu pada sebuah adagium "all persons are presumed innocent until proven guilty" yaitu setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah. 

Menurut beberapa pakar hukum, terdakwa seharusnya dijerat dengan Pasal 355 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu. Terdapat perbedaan antara Pasal 353 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa: 1. Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun; 2. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Adapun pasal Pasal 355 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa: "Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun."

Berbeda dari pengamat hukum tersebut, JPU mengungkap fakta-fakta di persidangan bahwasanya terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat. 

Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan ke badan, namun mengenai kepala korban. Dalam persidangan JPU menilai perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur dakwaan primer penganiayaan berat sebagaimana terdapat dalam pasal 355 ayat (1) KUHP.

Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai "tindak pidana" jika memenuhi dua unsur, yakni actus reus (guilty act), yang merupakan unsur objektif (physical element), dan mens rea (guilty mind), yang merupakan unsur subjektif (mental element). Kedua unsur ini bukan sekedar merujuk pada kesalahan moral (moral guilt), tapi yang lebih penting untuk dicatat adalah bahwa untuk menjadi bersalah karena melakukan kejahatan, terdakwa tidak hanya harus bertindak dengan cara tertentu (behaved in a particular way), tetapi juga harus memiliki sikap mental tertentu (particular mental attitude).

Ketika seseorang melakukan perbuatan melawan hukum, dipandang dari sudut pandang kesalahan mental (mens rea) maka perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan salah satu dari 3 cara yaitu sengaja (intentionally) , ceroboh (recklessly) , lalai (negligently). 

Lalu jika merujuk kepada kesalahan mental di atas maka dapat disimpulakan bahwa kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan merupakan sebuah kategori "sengaja" (intentionally). Mengapa? Karena merujuk kepada doktirn kesengajaan dalam hukum pidana, terdakwa sudah mengetahui dengan jelas perbuatan tersebut menimbulkan bahaya/kerugian tertentu. 

Dalam KUHP sengaja ialah "untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang". Kesengajaan itu sendiri dapat dibedakan menjadi 3 yaitu, sengaja dengan maksud, dimana perbuatan yang dilakukan dan akibat yang terjadi memang menjadi tujuan pelaku; sengaja dengan kesadaran akan kepastian, yakni adanya kesadaran bahwa dengan melakukan perbuatan itu pasti akan terjadi akibat tertentu dari perbuatan itu; dan sengaja dengan keinsyafan akan kemungkinan, di mana perbuatan itu telah diinsyafi kemungkinan yang dapat terjadi dengan dilakukannya perbuatan itu.

Lantas bagaimana cara mengukur kebenaran maupun kesalahan pernyataan JPU bahwa "terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat?" Tentunya dengan menilisik kepada unsur subjektif (actus reusi) atau perbuatan lahiriah pelaku. Unsur objektif itu sendiri terdiri dari perbuatan (aktif/pasif), akibat dari perbuatan,keadaan (baik pada saat maupun setelah perbuatan dilakukan),sifat melawan hukum. 

Dilihat dari segi proses dilakukannya tindakan penyiraman itu sudah jelas bahwa terdakwa melakukannya dengan sengaja dan terencana terbukti bahwa terdakwa pada pagi hari membawa air keras dengan maksud untuk disiramkan kepada Novel. 

Dengan kata lain bahwa terdakwa secara aktif melakukan tindakan tersebut. Dari segi akibat, perbuatan terdakwa jelas menyebabkan korban terluka parah dan mengalami cacat permanen di mata kirinya dan menimbulkan kerugian berat. 

Sedangkan dari segi keadaan jelas bahwa seluruh proses dan hasil dari perbuatan yang dilakukan terdakwa mempengaruhi perubahan keadaan korban menjadi tidak normal baik itu dari segi fisik maupun mental. Akhirnya, perbuatan terdakwa merupakan sebuah perbuatan melawan hukum serta dapat dijatuhi pidana.

Jaksa dalam tuntutannya menyampaikan hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa penyerang Novel Baswedan. "Hal-hal yang memberatkan, terdakwa telah menciderai Institusi Polri. Hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, mengakui perbuatan, bersikap kooperatif dan mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun," tambah jaksa. Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, terdakwa penyerang penyidik KPK Novel Baswedan itu, hanya dituntut 1 tahun penjara, Keduanya dinilai terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka-luka berat.

Jadi dalam Kasus Penyiraman Air Keras Yang Di Alami Oleh Novel Baswedan" dimana putusan majelis hakim pengadilan negeri jakarta utara masih dinilai tidak adil dengan apa yg terjadi pada Novel Baswedan persidangan ini seperti dipersiapkan untuk gagal, atau sidang sandiwara pada sejak awal. Proses penetapan tersangka seakan-akan dilandasi oleh dasar-dasar ataupun bukti penyidikan yang tidak cukup kuat.

Jika dilihat dari terpenuhinya unsur objektif dan unsur subjektif di atas maka seharusnya dan seidealnya JPU menjerat terdakwa dengan Pasal 355 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu, dengan pidana penjara maksimal 12 tahun. Dalam kasus ini tindakan penyiraman air keras secara sengaja jelas telah menimbulkan luka berat terhadap korban. Dalam hukum pidana hal ini dikenal dengan kausalitas atau sebab akibat yang tidak boleh dipisahkan satu sama lain. 

Dengan kata lain terdakwa terbukti melakukan tindak pidana dengan kesengajaan yang mengakibatkan korban luka berat atau cacat permanen. Namun JPU menjatuhi terdakwa dengan tuntutan 1 tahun penjara kepada Terdakwa yang merupakan tuntutan paling ringan dalam konstruksi Pasal 353 KUHP. Tentunya besar harapan agar hakim dalam melaksanakan tugasnya selalu berpedoman teguh kepada Pasal 5 ayat (1) UU No. 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman: "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun