Kasus penyiraman Novel Baswedan bisa dianggap merupakan salah satu masalah hukum pelik di negeri ini. Setelah kasus penyiraman yang menimpa mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2007 itu, persoalan yang menimpa dirinya seakan-akan lenyap. Ironis, karena pelaku penyiraman itu seolah tidak dapat diketahui rimbanya.Â
Publik lantas bertanya-tanya, sebegitu lemahkah penegak di negeri ini sehingga kasus yang terang-benderang ini tidak dapt diungkap. Desas-desus mengenai kasus kriminal yang menyebabkan hilangnya mata Novel Baswedan ini menunjukkan bahwa penyiraman itu konon dilakukan oleh orang yang merupakan orang penting di negeri ini.
Setelah sekian lama, hampir 3 tahun, akhirnya kasus Novel Baswedan pun berakhir dengan ditangkapnya orang yang diduga melakukan penyiraman tersebut. Namun, masalah bukannya terselesaikan, problem baru justru muncul di permukaan.Â
Tuntutan terhadap pelaku terbilang sangat ringan dengan sanksi pidana penjara hanya selama 1 tahun. Publik pun dibuat heboh, dan jagat hukum dipenuhi dengan perdebatan seputar putusan pengadilan yang kontroversial itu. Lazimkah untuk orang yang telah menghilangkan penglihatannya walau hanya sebelah dituntut pidana hanya dengan 1 tahun penjara?
Menelaah kasus penyiraman yang dilakukan terhadap Novel Baswedan yang tersangkanya dijatuhi pidana 1 tahun penjara dan terbukti bersalah telah melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka-luka berat tampaknya mengharukan kita membuka kembali kitab-kitab hukum pidana agar tidak salah persepsi.Â
Secara normatif, delik yang dikenakan kepada terdakwa adalah pasal Pasal 353 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Jika mengacu pada sebuah adagium "all persons are presumed innocent until proven guilty" yaitu setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah.Â
Menurut beberapa pakar hukum, terdakwa seharusnya dijerat dengan Pasal 355 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu. Terdapat perbedaan antara Pasal 353 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa: 1. Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun; 2. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Adapun pasal Pasal 355 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa: "Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun."
Berbeda dari pengamat hukum tersebut, JPU mengungkap fakta-fakta di persidangan bahwasanya terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat.Â
Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan ke badan, namun mengenai kepala korban. Dalam persidangan JPU menilai perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur dakwaan primer penganiayaan berat sebagaimana terdapat dalam pasal 355 ayat (1) KUHP.
Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai "tindak pidana" jika memenuhi dua unsur, yakni actus reus (guilty act), yang merupakan unsur objektif (physical element), dan mens rea (guilty mind), yang merupakan unsur subjektif (mental element). Kedua unsur ini bukan sekedar merujuk pada kesalahan moral (moral guilt), tapi yang lebih penting untuk dicatat adalah bahwa untuk menjadi bersalah karena melakukan kejahatan, terdakwa tidak hanya harus bertindak dengan cara tertentu (behaved in a particular way), tetapi juga harus memiliki sikap mental tertentu (particular mental attitude).