Entah untuk keberapa ribu kalinya Randu melajukan sepeda motor tuanya memasuki halaman kampus. Beranjak dari tempat parkir, ia melangkah menuju ruang kelasnya yang berada di lantai empat. Tidak tersedia lift, dia hanya dapat menapaki anak-anak tangga yang dingin dan lorong-lorong yang baginya terasa begitu sepi, yang menggaungkan langkah kakinya begitu jelas, meskipun banyak mahasiswa yang berseliweran setiap saat.
Randu bergegas mendaki anak-anak tangga keramik itu.
Celaka, aku telat, pikirnya.
Ia mempercepat langkah kakinya. Betapa dia teringat dosennya te memperkenankan seorang pun datang terlambat pada mata kuliahnya, walaupun memang maksud dosen tersebut tentunya adalah untuk mendidik mahasiswanya supaya disiplin. Kini di matanya anak-anak tangga keramik itu terasa begitu banyak, sebanyak rutinitas kuliahnya yang menjemukan. Ia membayangkan dirinya kembali berjumpa dengan dosen berwajah kaku, juga bertatapan dengan sorot puluhan pasang mata rekan-rekan sekelasnya yang seolah kehilangan gairah.
Ia sudah bosan sebenarnya, dengan jalan hidup yang kini terpaksa dijalaninya. Sehari-hari mengikuti kuliah yang tak pernah dimengertinya, yang tak pernah membuatnya merasa bertambah ilmu. Menurutnya hanya buang-buang waktu dan uang saja. Andaikan saja bapaknya tidak memaksanya masuk perguruan tinggi, ia lebih memilih untuk bekerja, ngeband dari kafe yang satu ke kafe yang lain, seperti yang selama ini ia inginkan. Toh, hitung-hitung tambah penghasilan. Lagipula berprofesi sebagai home band sebuah kafe tidak seburuk yang dibayangkan, hasilnya lumayan. Kalau mujur, mungkin malah bisa dilirik produser rekaman, dikontrak dan bikin album. Jadi ngetop dan muncul di layar kaca, papan-papan iklan, dan mengadakan tur seluruh Indonesia. Sebuah impian yang kini mungkin tak tergapai.
Ah, Bapak. Kalau saja bukan demi bapak, aku tak mau menjalani kehidupan sebagai anak kuliahan yang duduk manis di belakang meja, mendengarkan ceramah-ceramah yang seringkali kuanggap tak ada gunanya, malahan terkadang cenderung seenaknya. Tak peduli apakah anak didiknya dapat memahami pelajaran atau tidak. Bahkan ada juga dosen yang begitu kikir memberikan nilai bagi mahasiswa, mengapa tak berpikir saja jika memberi nilai yang bagus itu adalah amal. Anggap saja membahagiakan para orang tua yang sudah susah payah membiayai kuliah anak-anaknya. Toh gaji dosen juga berasal dari sana. Sama sekali tidak tahu balas budi, umpatnya. Diberkatilah dosen-dosen yang murah hati dan perhatian kepada mahasiswanya. Di lain pihak, status mahasiswa akuntansi yang disandangnya dengan terpaksa itu menuntutnya menghitung uang belasan digit yang tak ada wujudnya setiap saat. Tak ada kesempatan baginya menyentuh, ataupun sekadar memandang uang yang nilainya berjuta-juta itu. Sungguh ironis. Kerjanya ngitung duit tapi nggak pernah punya duit.
“Pokoknya kamu harus melanjutkan kuliah. Masuk akuntansi saja. Bapak mau kamu tuh jadi orang. Bapak ndak mau kamu jadi gembel yang kerjanya cuma ngeben genjrengan ndak karuan. Kalau begitu terus, anak istrimu nanti mau kamu kasih makan apa? Gitar? Kalau kamu masuk akuntansi, kamu kan bisa jadi pegawai, entah pegawai negeri atau pegawai bank. Syukur-syukur malah bisa jadi bos. Yang jelas hidupmu dan anak istrimu kelak bakal terjamin, Randu.” Terngiang di telinganya ucapan bapaknya yang merupakan sabda tak terbantahkan.
Bapak yang konservatif dan kolot. Bapak yang keras. Bapak tak pernah menganggapku dewasa. Bapak yang termakan oleh konstruksi masyarakat. Konstruksi yang mewajibkan setiap lulusan SMA untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Orang yang tidak meyandang status mahasiswa dipandang sebelah mata. Randu sudah pernah ingin berhenti kuliah saja, menjadi apa yang dia inginkan tanpa harus menurut kepada konstruksi yang telah dibangun masyarakat selama puluhan tahun. Ia ingin membuktikan bahwa tanpa kuliah pun, ia mampu menggapai impiannya. Jadi sarjana pun, tak menjamin seseorang bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah. Banyak sarjana yang luntang-lantung tak keruan. Dalam bekerja yang terpenting adalah minat dan kompetensi. Namun, bujukan ibunya membuat niatnya itu surut. Lagipula ia tidak mau disebut anak yang tak berbakti , karena itu adalah amanat terakhir bapaknya sebelum meninggal dunia karena penyakit jantung yang diidapnya.
Namun kenapa harus akuntansi? Meskipun ia cukup berkompeten dalam bidang itu, meski tidak bisa dibilang pandai sekali, tetapi minatnya tidak. Ia merasa salah jurusan. Kenapa tidak jurusan yang berhubungan dengan musik? Sebuah kesalahan yang mengubah jalan hidupnya. Baginya musik adalah jalan hidup, makanan bagi jiwa yang sekarat. Uang bukanlah jalan hidup. Uang tak mampu menyembuhkan jiwa-jiwa yang sekarat, meskipun di dunia yang kapitalistis ini semua orang mendewakan uang. Uang memang penting, tetapi kebahagiaan tak bisa diukur dengan uang. Maka terkutuklah koruptor-koruptor, makhluk-makhluk manis penguras dompet pria-pria hidung belang, penjilat-penjilat bokong atasan dan penguasa. Harga mereka tak lebih tinggi dari pembunuh. Justru seorang pembunuh mungkin sekali memiliki harga diri yang jauh lebih tinggi dibanding mereka.
Randu teringat bencana gempa tektonik yang waktu itu menimpa kota eksotis tempatnya menuntut ilmu itu. Betapa ia teringat, waktu itu orang-orang panik, berlarian menyelamatkan diri ke jalan-jalan, tanpa mempedulikan harta bendanya. Beberapa mencari sanak keluarganya, beberapa lagi berpeluk tangis, dan ada pula yang tidak peduli pada tubuhnya yang telanjang. Tak ada yang peduli dengan uang mereka. Betapa ia sadar, bahwa harta benda, uang, tak dapat menyelamatkan jiwa orang-orang yang diperbudak uang. Sudah berkali-kali Tuhan marah, Karena manusia zaman sekarang lebih takut tak punya uang daripada kuasa Tuhan. Seolah uang lebih punya kuasa dibandingkan Tuhan. Gilanya, sebagian dari mereka tetap tidak sadar juga akan kefanaan uang. Bumi pertiwi sekarat. Bumi pertiwi merintih. Andai saja setiap orang berpikir akan mati esok hari, mereka pasti akan bertindak lebih arif, dan berbuat hal yang lebih berarti bagi orang lain.
Randu mendadak tersadar dari lamunannya, ketika di puncak tangga lantai empat tubuhnya melayang jatuh. Kakinya terpeleset lantai yang licin karena baru dipel. Tubuhnya melayang, terasa begitu lambat di udara, lalu ia terhempas keras di lantai keramik putih yang dingin, yang kini bebercak merah darah. Senyap. Dan ia tidak pernah bangun lagi.
Jogja, November 2006
(diposting di racunprosa.blogspot.com, Selasa 22 juni 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H