Mohon tunggu...
Celine Kurnia
Celine Kurnia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik

Celine Kurnia adalah seorang mahasiswa Jurnalistik UMN. Ia gemar menulis dan travelling.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Rahasia di Balik Sistem Pendidikan Indonesia

11 Juni 2021   13:54 Diperbarui: 18 Juni 2021   17:38 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kegiatan pembelajaran/pexels.com

"Education is the most powerful weapon which you can use to change the world"

Penggalan kalimat dari Nelson Mandela tersebut mengartikan bahwa  pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Ya. Pendidikan membuat manusia memperoleh ilmu pengetahuan secara hardskill dan keterampilan dari segi softskill. Manusia membangun negaranya berdasarkan wawasan dan kemampuan yang didapat dari pendidikan. Tanpa pendidikan, manusia ibarat katak dalam tempurung; sempit pandangannya, sedikit pengetahuannya.

Berdasarkan data referensi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebanyak 273.216 sekolah beroperasi di Tanah Air. Namun, apakah hal tersebut sudah cukup untuk memajukan generasi bangsa? Kualitas pendidikan di Indonesia tidak bisa ditakar hanya melalui jumlah unit pendidikan. Lantas, apa hal yang paling penting supaya calon-calon pemimpin kita tidak hanya berwawasan, tetapi juga cerdas dan berintegritas?

Jawabannya adalah sistem pendidikan itu sendiri.

Pelajar yang masih duduk di bangku SD, SMP, atau SMA seolah terbagi atas “anak pintar” dan “anak malas” (bodoh). Hal ini disebabkan karena masih banyak sekolah yang menerapkan sistem peringkat, baik itu peringkat kelas maupun jurusan. Peringkat kelas memang dapat digunakan untuk mengetahui jumlah nilai seseorang. Namun, standar itu tidak bisa menjadi alat mutlak untuk mengukur kecerdasan siswa. Justru, peringkat seringkali dijadikan acuan atas jalinan pertemanan. Di sekolah terbentuk kubu atau kelompok belajar yang hanya berisi anak pintar; mereka yang rajin mengerjakan tugas dan terkenal ambisius serta sekumpulan anak malas yang kerap larut dalam canda tawa.

Adanya peringkat membuat siswa mati-matian berada di urutan teratas. Tidak heran, perilaku curang pun rela dilakukan. Sebut saja menyontek, bekerja sama saat ujian, atau memakai jasa joki tugas. Siswa pun gelap mata demi sebuah nilai. Miris.

Seperti yang sudah disinggung di atas, kita tidak bisa menilai kepintaran seorang siswa berdasarkan peringkat. Mengapa? Peringkat memberi gambaran kepada kita bahwa seseorang pintar, bukan cerdas. Anak pintar umumnya dikaitkan dengan teori dan akademis. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerdas artinya tajam pikiran. 

Orang yang cerdas berarti tidak terpaku pada teori, tetapi paham dan mampu menerapkannya dalam hidup sehari-hari. Pembedaan definisi pintar dan cerdas ini berhubungan dengan sistem pendidikan. Sejak anak-anak hingga remaja, pelajar Indonesia dihujam ratusan pertanyaan yang bersifat hafalan. Mereka jarang diberi pertanyaan yang jawabannya harus dipikirkan secara kritis dan komprehensif. Guru hanya terpaku pada materi dan jawaban tersurat di buku pelajaran. Bahkan, ada guru yang mengambil soal dari internet tanpa diubah sedikit pun. Alhasil, siswa memiliki pilihan-pilihan mudah: membalik helai demi helai buku pelajaran atau searching di internet guna menyelesaikan tugas. Siswa hanya mengingat jawaban tanpa tahu maksud dan faedahnya.

Kondisi ini berdampak pada kehidupan akademis siswa di masa depan. Bagi mereka yang melanjutkan studi di perguruan tinggi, hal ini mungkin menjadi mimpi buruk. Pasalnya, materi dan pertanyaan yang sering diajukan oleh dosen saat kelas, tugas, atau ujian adalah studi kasus dan harus dijawab dengan penalaran serta daya berpikir kritis yang mumpuni. Akibatnya, sebagian besar mahasiswa berdiam diri ketika dosen menawarkan tanya-jawab. Mereka bingung apa yang perlu ditanyakan karena tidak paham apa yang sedang diajarkan.

Maka dari itu, sistem pendidikan di Indonesia perlu dibenahi dari jenjang sekolah dasar. Pemerintah berencana mengganti Ujian Nasional 2021 dengan Asesmen Nasional yang berbasis kompetensi dasar siswa tanpa banyak hafalan. Hal ini adalah permulaan dari perbaikan sistem pendidikan Indonesia. Selain Ujian Nasional, kurikulum juga harus diubah dengan memperbanyak praktik, penerapan teori, dan studi kasus. Sistem peringkat harus dihapuskan; jadikan seluruh siswa sama hebatnya. Guru dianjurkan membentuk kelompok belajar campuran tanpa memandang gender dan nilai. Sekolah pun perlu menindak tegas setiap perbuatan curang, memberi pelajaran moral, dan membangkitkan semangat belajar siswa.

Mari kita tunggu gebrakan pemerintah dalam memperbaharui sistem pendidikan negeri ini. Pembaharuan sistem pendidikan niscaya menghasilkan insan yang berbudi pekerti, berwawasan luas, dan berguna bagi kemajuan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun