Di penghujung tahun 2019, dunia menghadapi masalah besar. Diawali dengan merebaknya penyakit yang disebabkan oleh virus corona atau biasa dikenal dengan Covid 19. Hampir setiap aspek kehidupan mengalami perubahan, dan perubahan tersebut semakin hari semakin meresahkan dunia. Covid-19 telah menjadi perhatian publik sejak pertama kali terdeteksi di kota Wuhan China di Provinsi Hubei pada awal tahun 2020.Â
Pada tanggal 21 Maret 2020, jumlah kasus COVID-19 telah mencapai 275.469 orang di 166 negara termasuk Indonesia (WHO, 2020). Indonesia pertama kali melaporkan kasus positif COVID-19 pada 11 Maret 2020. Laporan ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara terjangkit dengan 34 kasus positif COVID-19.Â
Para peneliti berusaha menemukan cara terbaik untuk menyembuhkan atau mencegah penyakit ini. Kementerian Kesehatan juga mengimbau masyarakat untuk memanfaatkan obat-obatan yang berasal dari tanaman tradisional. Beberapa tanaman obat digunakan sebagai anti bakteri, karena mengandung senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Tumbuhan ini terdiri dari beberapa spesies, diantaranya yaitu C. Xanthorrhiza (Temulawak) dan C. domestica (kunyit).
Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb) merupakan tumbuhan asli Indonesia dari keluarga Zingiberaceae, bagian yang dimanfaatkan tumbuhan ini yaitu rimpang. Rimpang temulawak mengandung senyawa potensial kesehatan antara lain xantorizol, kurkuminoid dan minyak atsiri. Kandungan kurkumin dalam temulawak dapat mempengaruhi sistem imun tubuh. Temulawak banyak digunakan dalam pengobatan tradisional sebagai bahan baku obat herbal, jamu terstandar dan fitofarmaka.Â
Temulawak secara tradisional dianggap berkhasiat untuk kesehatan, ditinjau dari permintaan temulawak untuk industri obat tradisional dan sektor kecil industri obat tradisional menempati urutan pertama di Jawa Timur dan kedua di Jawa Tengah setelah jahe (Kemala et al., 2003). Menurut Kemala et., al (2003), temulawak digunakan dalam pengobatan tradisional sebagai bahan baku yang efektif menyembuhkan 24 jenis penyakit salah satunya untuk meningkatkan imun dalam melawan Covid-19.Â
Hal itu diketahui sejak merebaknya SARS pada 2003. Peran SARS-CoV-2 yaitu angiotensin converting enzyme 2 (ACE2). ACE2 bisa ada dalam bentuk padat (terikat sel) dan larut (tidak terikat sel). Sebuah studi tentang senyawa kurkumin (senyawa tunggal atau murni) dilaporkan meningkatkan ACE2 pada tikus, tetapi kaitan langsung dengan infeksi virus corona (COVID-19) tidak diselidiki.
Berdasarkan hasil uji in vitro  rimpang terhadap proliferasi sel limfosit tikus, salah satu fungsi kurkumin sebagai imunomodulator adalah untuk merangsang proliferasi sel limfosit (Azimah et al., 2016). Selain itu, kurkumin juga berperan dalam memperkuat sistem imun dengan memodulasi aktivitas sel imun lainnya, antara lain neutrofil, makrofag, monosit, sel NK, dan sel dendritik (Srivastava et al., 2011).
Mengenai infeksi yang disebabkan oleh virus COVID-19, Prof. dr. Professor Nidom Foundation (PNF) Director Corona Research Group and Vaccine Formulations, Chairul A. Nidom menjelaskan bahwa kandungan kurkumin pada temulawak dapat mengontrol produksi sitokin saat sel  terinfeksi  virus, baik  virus influenza maupun COVID-19.
Sitokin adalah protein yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh, ketika terus menerus terpapar virus, badai sitokin dapat menyebabkan kemacetan dan kekakuan pada paru-paru, menyebabkan sesak nafas bahkan gagal napas, yang dapat menyebabkan kematian. Dalam sebuah penelitian tahun 2008, Nidom menemukan bahwa kandungan kurkumin pada temulawak dapat mengendalikan sitokin inflamasi sehingga tidak terjadi badai sitokin.Â
Hasil penelitian Profesor Nidom  sejalan dan mengkonfirmasi hasil penelitian sebelumnya, di mana Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) yang mengandung curcumin ditemukan memiliki efek pada sistem kekebalan tubuh, yaitu sebagai imunomodulator (Catanzaro et al, 2018). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa mengkonsumsi temulawak dapat dijadikan sebagai upaya meningkatkan daya tahan tubuh di masa pandemi Covid-19.Â