Mohon tunggu...
Cut Intan Arifah TA
Cut Intan Arifah TA Mohon Tunggu... -

Metro, smart, royal, and loyal women.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

KKR Aceh Gelar Seminar Regional Antar Negara

12 Oktober 2017   16:04 Diperbarui: 12 Oktober 2017   16:27 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aceh Besar -- Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mengadakan seminar regional dengan tema Peran Komisi Kebenaran dalam Memperkuat Perdamaian, Kamis, 12 Oktober 2017 di Hotel The Pade Kabupaten Aceh Besar.

Seminar ini diselenggarakan atas kerjasama KKR dengan Asia Justice and Rights (AJAR), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Aceh (KontraS Aceh), Katahati Institute, ICAIOS, LBH Banda Aceh, dan Transitional Justice Asia Networkyang dibuka oleh pemerintah Aceh dan di mulai pada Pukul 09.20 WIB sampai dengan Pukul 18.00 WIB.

Kegiatan tersebut menghadirkan narasumber dari lokal dan internasional, pada seminar sesi pagi di antaranya ada Hugo Fernandez (Ketua Komisi Nasional Chega, Timor Leste: Mantan Ketua Riset dan Investigasi Komisi Penerimaan. Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor-Leste), Atty Cecilia Jimenez (Komisioner Keadilan Transisi dan Rekonsiliasi Filipina: Pelapor khusus PBB untuk pengungsi internal), Munawar Liza Zainal (anggota tim perunding GAM-RI di Helsinki), dan Patrick Burgess (ahli transitional justice di Asia dan Presiden AJAR). Mereka semua dipandu oleh Dr. Saiful Mahdi (dosen di Universitas Syiah Kuala, Indonesia) selaku moderator dengan tema "Peluang dan Tantangan Komisi Kebenaran dalam Proses Perdamaian."

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Pada sesi siang, seminar menampilkan narasumber yang membahas tema "Peran Pemerintah, CSO, Perempuan dan Korban dalam Komisi Kebenaran", di antaranya ada Sarala Emmanuel (Direktur Suriya Women's Development Centre Sri Lanka), Ramadan Panjor (Editor Deep South Watch, Thailand), Scott Stevens (Transitional Justice Working Group, South Korea), dan Devi Riansyah (Kepala Kantor Sekretaris KKR Aceh, mereka semua dipandu oleh Melanie Pimentel dari Kantor Pengacara Negara Filipina sebagai moderator.

Para narasumber menceritakan kisah mereka mengungkapkan kebenaran dari konflik yang terjadi di negara tempat mereka masing-masing bekerja. Mulai dari Timor Leste, Filipina, Thailand, Korea Selatan, Sri Lanka, dan negara lain yang pernah mereka kunjungi. Dan para narasumber berbicara dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dengan menggunakan alat penerjemah yang disediakan oleh panitia.

Salah satu narasumber menyatakan, KKR di Aceh bisa mengikuti contoh konsep komisi kebenaran di negara-negara lain dengan menyisipkan kearifan lokal atau sesuai adat budaya setempat. Contohmya seperti di Timor Leste, berbagai konflik dan pembataian yang terjadi di sana mulai dari pembunuhan, pemerasan pemerkosaan, dan sebagainya sehingga komisi kebenaran disana menamai lembaga mereka dengan Chega!, yang artinya "Cukup!", memaknai waktunya mengungkapkan kebenaran, sudah cukup dengan penderitaan yang dialami.

Pada sesi selanjutnya setelah makan siang, salah satu narasumber dari Thailand (Ramadan Panjor) menyatakan, memorisasi sangatlah penting untuk mengungkap kebenaran. Dengan kita menyimpan sejarah dengan baik, maka akan sangat mencukupi bukti yang akan membantu kita mengungkapkan kebenaran. Seperti salah satu contoh peristiwa pada Oktober 40 tahun yang lalu, para pelajar di Thailand dipukuli, ditembak, diperkosa dan dibunuh di Universitas Thammasat Bangkok.

Dari insiden itu ada seorang wartawan yang menyimpan foto-foto kejadian selama 40 Tahun, karena sebelumnya peristiwa itu sangat tabu dibicarakan di Thailand. Dan setelahnya pada Tahun 2004, pembantaian terjadi lagi pada umat muslim di Tak Bai pada Bulan Ramadhan yang diawali oleh aksi demontrasi oleh 2000-3000 muslim yang menuntut pembebasan ke enam orang yang ditangkap dan dituduh menyerahkan senjata kepada kelompok pejuang Patani.

Narasumber lain, Sarala Emmanuel dari Sri Lanka yang keseluruhan materinya membahas tentang perjuangan perempuan mengungkapkan kebenaran di Sri Lanka. Para perempuan beserta keluarganya punya memori yang sangat kelam, walau pelakunya belum ada yang ditahan sampai saat, yang sebenarnya pelakunya juga dari pemerintah, namun untuk menyembuhkan luka dan sakit hati mereka harusnya pemerintah perlu memberikan pemulihan baik psikis maupun materi, atau sekedar meminta maaf secara terbuka, itu mungkin cukup mengobati kepiluan yang dialami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun