Aceh Besar -- Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mengadakan seminar regional dengan tema Peran Komisi Kebenaran dalam Memperkuat Perdamaian, Kamis, 12 Oktober 2017 di Hotel The Pade Kabupaten Aceh Besar.
Seminar ini diselenggarakan atas kerjasama KKR dengan Asia Justice and Rights (AJAR), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Aceh (KontraS Aceh), Katahati Institute, ICAIOS, LBH Banda Aceh, dan Transitional Justice Asia Networkyang dibuka oleh pemerintah Aceh dan di mulai pada Pukul 09.20 WIB sampai dengan Pukul 18.00 WIB.
Kegiatan tersebut menghadirkan narasumber dari lokal dan internasional, pada seminar sesi pagi di antaranya ada Hugo Fernandez (Ketua Komisi Nasional Chega, Timor Leste: Mantan Ketua Riset dan Investigasi Komisi Penerimaan. Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor-Leste), Atty Cecilia Jimenez (Komisioner Keadilan Transisi dan Rekonsiliasi Filipina: Pelapor khusus PBB untuk pengungsi internal), Munawar Liza Zainal (anggota tim perunding GAM-RI di Helsinki), dan Patrick Burgess (ahli transitional justice di Asia dan Presiden AJAR). Mereka semua dipandu oleh Dr. Saiful Mahdi (dosen di Universitas Syiah Kuala, Indonesia) selaku moderator dengan tema "Peluang dan Tantangan Komisi Kebenaran dalam Proses Perdamaian."
Para narasumber menceritakan kisah mereka mengungkapkan kebenaran dari konflik yang terjadi di negara tempat mereka masing-masing bekerja. Mulai dari Timor Leste, Filipina, Thailand, Korea Selatan, Sri Lanka, dan negara lain yang pernah mereka kunjungi. Dan para narasumber berbicara dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dengan menggunakan alat penerjemah yang disediakan oleh panitia.
Salah satu narasumber menyatakan, KKR di Aceh bisa mengikuti contoh konsep komisi kebenaran di negara-negara lain dengan menyisipkan kearifan lokal atau sesuai adat budaya setempat. Contohmya seperti di Timor Leste, berbagai konflik dan pembataian yang terjadi di sana mulai dari pembunuhan, pemerasan pemerkosaan, dan sebagainya sehingga komisi kebenaran disana menamai lembaga mereka dengan Chega!, yang artinya "Cukup!", memaknai waktunya mengungkapkan kebenaran, sudah cukup dengan penderitaan yang dialami.
Pada sesi selanjutnya setelah makan siang, salah satu narasumber dari Thailand (Ramadan Panjor) menyatakan, memorisasi sangatlah penting untuk mengungkap kebenaran. Dengan kita menyimpan sejarah dengan baik, maka akan sangat mencukupi bukti yang akan membantu kita mengungkapkan kebenaran. Seperti salah satu contoh peristiwa pada Oktober 40 tahun yang lalu, para pelajar di Thailand dipukuli, ditembak, diperkosa dan dibunuh di Universitas Thammasat Bangkok.
Dari insiden itu ada seorang wartawan yang menyimpan foto-foto kejadian selama 40 Tahun, karena sebelumnya peristiwa itu sangat tabu dibicarakan di Thailand. Dan setelahnya pada Tahun 2004, pembantaian terjadi lagi pada umat muslim di Tak Bai pada Bulan Ramadhan yang diawali oleh aksi demontrasi oleh 2000-3000 muslim yang menuntut pembebasan ke enam orang yang ditangkap dan dituduh menyerahkan senjata kepada kelompok pejuang Patani.
Narasumber lain, Sarala Emmanuel dari Sri Lanka yang keseluruhan materinya membahas tentang perjuangan perempuan mengungkapkan kebenaran di Sri Lanka. Para perempuan beserta keluarganya punya memori yang sangat kelam, walau pelakunya belum ada yang ditahan sampai saat, yang sebenarnya pelakunya juga dari pemerintah, namun untuk menyembuhkan luka dan sakit hati mereka harusnya pemerintah perlu memberikan pemulihan baik psikis maupun materi, atau sekedar meminta maaf secara terbuka, itu mungkin cukup mengobati kepiluan yang dialami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H