Mohon tunggu...
Humaniora

Kenapa Santoso Dicap Teroris Sementara OPM Papua Bukan?

26 Juli 2016   12:16 Diperbarui: 26 Juli 2016   14:41 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menarik disimak pemberitaan yang hampir tidak di publish oleh media-media terkemuka yang ada di nasional, bahkan Kompas sekalipun tentang hasil kunjungan Tim Pansus RUU Terorisme di Poso ketika mengadakan dialog antara masyarakat Poso dengan Tim Pansus RUU Terorisme.

Dalam pertemuan tersebut masyarakat Poso sempat menanyakan kenapa Santoso dicap teroris sementara OPM yang ada di Papua melakukan makar (ingin memisahkan diri dari NKRI) tidak dicap teroris. Menurut pandangan masyarakat Poso bahwa OPM di papua tersebut lebih pantas di hanguskan daripada Santoso yang dianggap pahlawan oleh masyarakat Poso. Mereka OPM sudah berbuat makar (ingin memisahkan diri dari NKRI) daripada Santoso yang sangat mencintai negara ini.

Selain itu bagi masayarakat Poso, teror sebenarnya datang dari aparat kepolisian. Sebab, masyarakat di sana menyimpan dendam yang luar biasa kepada polisi akibat banyaknya aparat yang melakukan pelanggaran HAM berat.

Fakta-fakta pelanggaran HAM berat tersebut pernah diuatarakan oleh Santoso dalam wawancaranya dengan Harun Nyak Itam Abu, Pendiri TPM Poso sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu dan pernah termuat dalam diradar Sulteng Kamis 21 April 2016 dengan judul “Ngobrol Imajiner dengan Santoso” :

1)     Tanggal 17 April 2000 M.Husni alias Sunil ditembak mati oleh oknum polisi, TKP pas itu terminal Kasintuwu kota Poso,

2)     Ahmad Sutomo (saat itu usia 17 tahun) tewas ditembak oknum polisi pada tanggal 21 Oktober 2001, TKP Mapane Poso Pesisir,

3)     Safruddin Buhaeli (saat itu berusia 16 tahun), meregang nyawa ditembak polisi pada tanggal 3 Desember 2001, TKP Bonesompe Poso Kota,

4)     Amisudin wafat ditembak oknum polisi pada tanggal 15 November 2003, TKP : Tabalu Poso Pesisir.

Dalam peristiwa-peristiwa tersebut ada 12 (duabelas) korban luka tembak, yakni: Rahman, Irwan, Budi, Asri, Oman, Ali, Rizal, Abdullah,Hajir, Ali, Pr.Ratna, Pr.Salma, serta puluhan orang luka berat akibat dianiaya dan disiksa (diinjak-injak, dipukul, diikat) dan ditelanjangi (kemaluannya diinjak), seperti antara lain: Andang, Ato, Ayub, M.Saher, M.Guntur, M.Fadli, M.Rusli, M.Irsan, Rustam S.K, Salbingu, Amran Ambo Enre, Sondong, Bobby Dunggio, Kiki Andri Wijaya, Anjas Gani, Abdullah, Halid, Rendy, Sutami M.I, Wahyudin, dan lain-lain (dikenal sebagai Tragedi Mapane Berdarah).

Mereka semua bukan pelaku kriminal, bukan teroris, bukan pula kelompok orang yang tergolong DPO!

Para pendeta, ustad, tokoh masyarakat, tokoh pemuda di Poso sepakat dengan satu kata, mereka sangat benci dengan polisi karena telah lakukan pelanggaran HAM berat.

Hal ini diperjelas dengan begitu antusias sambutan masyarakat Poso terhadap jenazah Santoso, mereka menyebut Santoso dengan menyambut kedatangan jenazah Santoso dengan sebuah spanduk bertuliskan “Selamat Datang Syuhada, Santoso alias Abu Wardah". Spanduk itu dipasang tidak jauh dari rumah duka dan lokasi pekuburan.

Semoga kebenaran dalam kasus ini dapat mencapai titik terang, sehingga masyarakat Indonesia bisa mengetahui sebenarnya siapa yang melakukan pelanggaran HAM dan siapa Teroris sebenarnya di Poso?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun