Tradisi mudik menjelang lebaran atau hari raya bukanlah hal baru di Indonesia. Hampir seluruh perantau akan melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga tercinta yang telah lama ditinggalkan demi sesuap nasi dan sebongkah berlian.
Mirisnya, kalimat pamer saat mudik mulai sering terdengar belakangan ini. Seolah telah menjadi sebuah kebenaran bahwa para pemudik ini akan memamerkan hasil yang ia peroleh setelah bertahun-tahun bekerja di luar kota bahkan luar negeri pada sanak keluarga dan tetangga. Padahal, tidak semua hal tersebut tepat.Â
Mudik bisa saja dilakukan tanpa embel-embel pamer. Bukankah mudik adalah cara seseorang untuk bisa bertemu, berbagi suka duka dan melepas rindu pada orang-orang berharga dalam hidupnya yang telah lama berpisah?
Lantas, apa salahnya jika saat mudik, ia terlihat lebih mapan setelah meninggalkan kampung halaman? Bukankah tujuan untuk bermigrasi ke daerah lain memang untuk meningkatkan taraf hidup seseorang? Di mana letak masalahnya sehingga harus ada pelabelan pamer?
Berikut saya akan coba uraikan kenapa sampai muncul kalimat 'Pamer saat Mudik'.
Makna Kata Pamer
Pamer bermakna menunjukkan apa yang dimiliki pada orang lain dengan maksud memperlihatkan. kelebihan dan keunggulan serta menyombongkan diri pada orang lain. Begitulah yang tercantum pada KBBI terkait makna kata pamer.Â
Pada hakikatnya, pamer tentu tidak dibenarkan dalam ajaran agama mana pun, begitu pun dengan ajaran agama Islam. Pamer kekayaan adalah perbuatan riya, sedangkan Allah swt. sangat membenci perbuatan tersebut dan dianggap sebagai perbuatan syirik kecil.
Dalam kalam-Nya, Allah berfirman,
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Luqman :18)
Dengan kata lain, meskipun kita memiliki kelebihan, Allah melarang kita untuk bersikap sombong atas nikmat yang diberikan oleh-Nya.Â
Apa Penyebab Munculnya Kalimat Pamer saat Lebaran?
Menurut pendapat saya, penyebab munculnya kalimat 'Pamer saat Lebaran' bisa terjadi karena beberapa sebab.Â
Yang pertama, kondisi ekonomi pemudik sudah lebih baik dibandingkan saat ia ia pertama sekali ia meninggalkan kampung halaman. Jika saat berangkat atau migrasi ke daerah lain seseorang masih terlihat memendam kesedihan, keraguan, dan hanya menggunakan pakaian seadanya, kemungkinan besar ketika mudik ia akan memakai pakaian terbaik dan sudah terlihat lebih ceria. Bagaimana tidak, mendapat penghasilan dan memiliki uang di tangan membuat seseorang menjadi lebih baik sehingga memunculkan aura percaya diri.
Kedua, pemudik yang sudah percaya diri akan lebih terbuka dengan orang lain. Hal yang mungkin tidak pernah dilakukan selama menetap di kampung akan ia lakukan sepulang dari perantauan, seperti menyapa tetangga, memberikan bantuan untuk acara di kampung atau sekadar aktif  dan terlibat secara langsung pada beberapa kegiatan yang diadakan di kampung saat berada di sana.Â
Ketiga, sikap baik dan keberhasilan sang pemudik akan menyemai hasad bagi orang lain yang memiliki penyakit hati di dalam dada. Ada kecemburuan yang hadir saat melihat orang lain lebih berhasil dan hidup mapan di kala kita masih berjuang untuk hidup lebih baik. Begitulah pola pikir primitif harus diubah.Â
Dengan demikian hal-hal di ataslah yang kerap menciptakan budaya mudik terlihat seperti ajang pamer. Sebaik apa pun niat sang pemudik akan terlihat sama di mata orang yang sudah memiliki pola pikir yang salah sejak awal.
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengembalikan persepsi yang benar terhadap budaya mudik?
- Tetaplah menjadi pribadi yang baik dan tidak terkontaminasi dengan penilaian buruk dari orang lain.
- Buktikan pada semua orang, kita berhak atas pencapaian ini. Tunjukkan semua yang kita peroleh tidaklah instan, tapi hasil dari kerja keras.
- Tetaplah menjadi pribadi yang rendah hati.
- Jangan segan berbagi ilmu dan kiat keberhasilan dengan orang lain.
- Senantiasa menjaga lisan dan tidak membandingkan pencapaian kita dengan orang lain, apalagi hingga merendahkan.
- Tunjukkan tujuan mudik kita adalah menyambung silaturahmi dan berbagi kebahagiaan.
- Jangan berlebihan dalam berpakaian atau menggunakan perhiasaan, jika di daerahku masih banyak yang berkekurangan.
Itulah beberapa hal yang bisa kita lakukan agar budaya mudik tidak dianggap sebagai ajang pamer. Sebab anggapan pamer itu dapat terjadi bukan salah siapa-siapa, melainkan sikap yang tidak saling menjaga perasaan dan menghormati. Sekian dan semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H