Mohon tunggu...
bunga artatya
bunga artatya Mohon Tunggu... -

bukan siapa-siapa tak ingin menjadi siapa-siapa..jangan tanya aku siapa,,hanya wanita yang mencoba untuk terus memahami...

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Mantan Pejuang yang Sampai Detik Ini Masih Berjuang...

18 Agustus 2010   04:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:56 1516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

(catatan kepiluan dan kesedihan)...........

suara kemerdekaan menggema dimana-mana,,,semua bersuka cita,,,katanya merdeka dan bangga dengan negara kita punya.....bendera berkibar dimana-mana....mengingat begitu kejamnya para penjajah dulu menyerang negara kita,menghabisi para sesepuh kita dan memperkosa kaum wanita negara kita,,Berkat Rahmat Tuhan semuanya berlalu...kita bisa makan enak tanpa ada yang melarang,,bisa tidur nyenyak tanpa takut serangan musuh dan suara tembakan yang selalu berbunyi...

well........

siapa yang nyangka kalo di balik kemerdekaan yang kita nikmati selaku anak cucu,justru para kakek pejuang yang masih hidup hingga detik ini tidaklah menikmati kemerdekaan dari perjuangannya ........

kemarin di sela- sela hari libur saya mencoba untuk hunting moment2 lomba kemerdekaan...tapi saat itu saya teringat tentang berita yang dimuat detik.com tentang pak Muhasim (78)  yang saat ini enjadi tukang sampah di daerah menteng,,,saya begitu terenyuh membaca artikel yang memuat tentang kisah beliau,, dengan susah payah berusaha menarik gerobak sampah di Jl Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Dia berhenti untuk menyapu sampah yang lalu dia masukan ke gerobaknya.
Pria tua asal Pandeglang, Banten ini sudah puluhan tahun menjadi tukang sapu di daerah Menteng. Tidak ada yang menyangka kisah mudanya luar biasa. Muhasim adalah mantan anggota Pejuang Pelopor yang ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Diakui Muhasim, perayaan 17 Agustus selalu membuatnya teringat masa lalu. Muhasim masih berusia 15 tahun ketika tentara Sekutu kembali masuk Jakarta, setelah Indonesia merdeka. Muhasim kecil saat itu berjualan telur dan ayam dekat markas Sekutu di Jembatan Merah, Jakarta Barat. Tentara Sekutu lalu mempekerjakannya sebagai pembersih sepatu dan mencuci baju. Karena cukup dipercaya, Muhasim bebas keluar masuk markas mereka.

Ayah Muhasim pun bekerja di markas sekutu membantu-bantu. Keleluasaan itu, dimanfaatkan Muhasim untuk membantu para pemuda yang baru bergabung dengan TKR untuk merebut kemerdekaan. "Saya diminta mengambilkan barang untuk mereka. Kalau senjata sih susah. Saya biasanya memunguti peluru yang tercecer di rumput untuk diberikan ke pejuang," kenangnya dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (16/8/2010).

Karena masih pelajar, Muhasim baru bisa bergabung dengan barisan Pejuang Pelopor pimpinan ulama kharismatik Situbondo, Banyuwangi, Jawa Timur, KH As'ad Syamsul Arifin. Muhasim terlibat perang sungguhan saat mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang mencoba bercokol kembali di Indonesia. Peristiwa itu dicatat sejarah sebagai Agresi Militer Belanda I. Saat itu Belanda berusaha merebut kembali Indonesia dan Presiden Soekarno dan Wapres Muhammad Hatta mengungsi ke Yogyakarta. Muhasim melalui zaman perang gerilya di sekitar Jakarta dan tetap selamat.

"Alhamdulillah, umur saya panjang sampai sekarang. Kalau perang, walau anak-anak, saya maju duluan untuk memancing pasukan Belanda," kisahnya.

Dalam sebuah pertempuran kota di Gunung Sahari, banyak teman-teman Pemuda Pejuang yang gugur. Pejuang yang hanya bermodal bambu runcing, pistol dan senjata mesin hasil rampasan berhadapan dengan pasukan bersenjata lengkap.

"Perang saat itu tidak kayak di film-film perjuangan kita yang menang melulu," ujarnya sambil tertawa mengenang masa lalunya.

Muhasim dan teman-temannya lalu memutuskan bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Yogyakarta. Namun rombongan mereka dicegat Belanda di Cikampek. Ini adalah bentrok senjata yang menewaskan banyak orang yang lalu diabadikan penyair Chairil Anwar dalam puisi 'Antara Kerawang dan Bekasi'. Dalam bentrok senjata itu, Muhasim masih selamat, namun dia harus mengubur mimpinya bergabung dengan TKR.

"Saya dan teman-teman selalu sembunyi-sembunyi, tapi tentara Belanda selalu mencegat kita di Karawang. Kita selalu dikejar-kejar, ya tidak pernah berhasil masuk ke wilayah Jawa Tengah," ujarnya.

Perang benar-benar selesai saat Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Tidak bisa jadi tentara, Muhasim pun bekerja bersama ayahnya di sebuah pabrik lampu di Tanjung Priok. Ayahnya lalu membeli perahu dan menjadi nelayan. Muasim ikut melaut sampai ayahnya wafat.

Setelah itu, Muhasim sempat menjadi satpam di Kedubes Hongaria dan Singapura pada dekade 1960-an. Dia tidak ingat kapan mulai menjadi tukang sapu, namun yang jelas Soeharto sudah menjabat presiden. Muhasim juga beristrikan seorang tukang sapu. Namun sang istri dan anaknya kini tinggal di Pandeglang. Sebagai tukang sapu, Muhasim hanya menerima gaji Rp 800 ribu perbulan.

Dari pinggir jalanan inilah, Muhasim menyaksikan Indonesia menjalani kemerdekaan selama 65 tahun. Sambil menyapu sampah, dilihatnya negara ini berkembang. Lantas, apakah makna 65 tahun kemerdekaan untuk Muhasim?

"Arti kemerdekaan bagi saya, apa yah?" ucap Muhasim menerawang ke langit.

Pria tua ini mengatakan, masyarakat saat ini sangat berbeda dengan semasa kemerdekaan. Pada masa perjuangan yang diingat Muhasim, semua orang saling bahu membahu tanpa kenal rasa pamrih.

"Merdeka bagi saya kalau rakyat semua sejahtera, tidak susah seperti saat ini," ujar Muhasim, sembari melanjutkan pekerjaannya, menyapu jalanan dari sampah yang dibuang warga Jakarta.

kemudian saya dengan sahabat setia saya (thank to renfry agustana yang mau menemani saya berburu berita)kami kearah jakarta timur di bilangan cakung,,disana saya ingin menemui seorang bapak yang juga memiliki kisah luar biasa semasa mudanya,,,sosok yang mampu membuat saya menitikkan air mata saat mendengarkan ceritanya yang begitu semangat,,ya disana saya menemui pak sutaryo yang sudah terlihat sangat tua berusia 81 tahun,,,diusianya yang seharusnya dy gunakan untuk duduk menikmati hari senjanya di kursi goyang dan menceritakan tentang perjuangannya untuk anak cucu,,,atau setidaknya berada diistana menjadi tamu kehormatan dikursi bersanding dengan para veteran,,,tapi tidak seindah bayangannya ketika dulu berjuanga untuk sebuah kemerdekaan...pak tua yang sehari-hari bekerja menjadi penjual sepatu bekas ini masih terus berjuang hingga detik ini...tak ada penghargaan yang diperolehnya,tak ada tanda terima kasih untuknya,,dari pengorbanan sebuah nyawa...dy tinggal bersama istrinya yang sakit dan tinggal dirumahnya yang sudah renta,,yang menjadi pikiran saya adalah ketika anak dari tetangganya menangis meminta bendera plastik seharga 2000,,pak sutaryo merogoh kantong dari celana pendeknya yang sudah usang,,,diberikannya uang itu agar sia anak tadi diam,,,beliau hanya berkata "kasihan mbak"lagi-lagi air mata saya menitik bahkan ketika mengetik inipun saya menitikkan air mata....dari hasil jual sepatu kadang kala beliau mendapatkan uang berkisar 15.000-30.000 perhari itupun jika ada pembeli..sering pula beliau pulang dengan tangan kosong........ tapi keikhlasannya untuk memberi telah tertanam sejak dulu...sejak indonesia masih susah...

sekarang semua sudah mudah diindonesia tapi sudah sangat jarang ditemui keikhlasan diantara satu dengan yang lainnya...mereka dalah orang-orang yang terabaikan...segelintir contoh dari keegoisan peradaban zaman....

fasilitas yang begitu mewah di berikan untuk pejabat yang notabene di bantu menjabat oleh rakyat tapi tega terhadap rakyatnya...suara para pejabat yang gonggongan yang hanya bersuara pada materi dan fasilitas....nggak ada yang menyuarakan untuk penghargaan bagi pejuang-pejuang kita...

ironis memang...tapi saya begitu takjub dengan perjuanagn bapak sutaryo..yang menurut keluaganya adalah benar2 sosok pahlawan sejati...

semoga kemerdekaan itu tidak hanya kita syukuri di saat detik2 nya...tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari dan kita semua tumbuh menjadi jiwa yang ikhlas di tengah2 ketamakan dan kerakusan...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun