Sekarang aku dapat merasakan langsung kepanikan gempa dan tsunami tahun 2004 silam. Meskipun tanpa tsunami, gempa berkekuatan 8,5SR rabu lalu adalah pengalaman pertama melalui gempa sekuat dan selama itu.
Rabu 11 April 2012 sekitar pukul 15.00 WIB kami sekeluarga yang saat itu sedang bercengkrama ber-5 sambil menunggu kumandang adzan ashar, karena seperti biasanya usai shalat ashar aku akan pergi mengantarkan anak--anak ke TPA di mesjid terdekat. Suami yang biasanya setiap rabu pulang mengajar pukul 16.00 hari itu pulang lebih awal karena sangat mengantuk akibat kelelahan mengembangkan usaha sedari selasa pagi hingga pagi rabu.
Kira-kira pukul 15.38 saya merasa agak goyang, namun karena sering hoyong efek dari darah rendah,aku pikir itu akunya aja yang memang lagi pusing. Namun karena semakin kuat, aku mulai melirik pigura foto pernikahan kami yang tergantung di dinding kamar. Karena selama ini untuk memastikan terjadi gempa atau tidak akua melihat pigura tersebut bergoyang atau tidak. Dan benar saja, foto itu bergoyang semakin hebat. Spontan aku berteriak "abi, gempa bi!!", suami pun kaget, "ia, ayo kita keluar!". Sambil menggendong si bungsu aku pun keluar rumah di ikuti oleh suami yang juga membawa dua anak kami lainnya.
Diluar, para tetangga sudah berkumpul di halaman masing-masing. Ada yang duduk ditanah, ada yang berdiri, dan mondar-mandir. Tapi raut wajah semua orang sama yaitu panik. Semua melafazkan La Ila Haillaulah!!,semakin kuat hayunan gempa,semakin kuat pula kami berseru.
Suasana semakin mencekam, anak-anak terdiam, takut dan tidak mengerti. Kurang lebih lima menit durasi gempa sore itu. Usai gempa, kami menyiapkan bekal anak-anak ala kadarnya, pakaian, surat-surat berharga, popok si bungsu, snack dan minuman. Semua kami lakukan secepat kilat mengejar waktu,takut jika terjadi tsunami setelah ini dan khawatir akan ada gempa susulan.
Si sulung Fathi heran dengan semua yang kami lakukan sambil bertanya,"ummi kita mau pindah rumah ya?". Spontan kujawab, nggak nak,kita harus pergi sementara ke tempat yang lebih aman", lalu dia bertanya lagi "abang kan mau ikut lomba gimana ni?besok sekolah gimana?" dan seterusnya.....Semua pertanyaan tidak aku respon lagi karena sibuk sendiri.
Seluruh anggota keluarga naik mobil dan suami pun mengemudikan mobil dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya. Sepanjang perjalan kami terus berdo'a. Tujuan pertama adalah Ulekareng, karena sepengetahuan kami daerah ini tidak terkena tsunami tahun 2004 lalu. Namun setiba di perempatan Lamgugob-ie masen suasana jalan sangat padat oleh kenderaan baik roda dua maupun roda empat. Ada banyak orang berlarian. Semua kenderaan hanya diam alias macet total tidak bisa bergerak. Tanpa pikir panjang kami pun nekat putar balik arah meskipun sangat sulit untuk itu.
Tujuan selanjutnya adalah Darussalam. Namun tiba di jembatan Lamnyong kepadatan lalu lintas melebihi tempat sebelumnya. Semua orang panik melarikan diri ke tempat yang lebih aman, terlebih mereka yang sudah pernah merasakan gempa dan tsunami sebelumnya. Mobil kami tidak dapat bergerak lagi, terkunci diantara puluhan kenderaan lain.
Namun sungguh megharukan, ditengah kepanikan semua orang, ada sekitar empat orang yang berpakaian biasa dan tentara mencoba membantu jalur lalu lintas di perempatan jembatan ini. "Semoga Allah melimpahkan pahalanya bagi orang-orang tersebut, sungguh ia telah menolong banyak orang dengan sangat ikhlas".
Kami pun berhasil lolos tiba di darussalam dengan cepat atas pertolongan orang2 mulia tersebut. Jalanan di darussalam pun sudah penuh. kami kembali terjebak macet saat bermaksud melanjutkan perjalanan hingga ke Tungkop. Didepan kampus Unsyiah sudah ramai orang berkumpul, terlebih di mesjid Jami'' yang berada diwilayah kampus, lamtai dua mesjid tampak ramai dipenuhi para pengungsi.
Tak dapat dipungkiri diantara bukti kekuasaan Allah terlihat pada sejumlah mesjid yang selamat dari gempa dan sapuan tsunami pada tahun 2004, meskipun ada yang jaraknya dekat dari laut. Belajar dari pengalaman tersebut, maka banyak orang berhamburan di setiap mesjid menyelamatkan diri.
Berputar ke arah bandara, dan akhirnya kami memutuskan untuk berhenti di sekitaran kampung ateuk di salah satu mesjid untuk menunaikan shalat ashar.
Usai shalat ashar kami kembali ke mobil dan berencana melanjutkan perjalanan ke bandara Sultan Iskandar Muda yang insya Allah akan jauh lebih aman. Namun kemacetan didepan mata menyurutkan niat kami, dan seketika sekitar pukul 17.45 kembali terjadi gempa susulan yang juga kuat, meski tidak sekuat gempa pertama. Durasinya juga lumayan lama sehingga terlihat mobil teguncang-guncang. Saat itu juga suami mengumandangkan adzan. Hingga ia selesai adzan gempa masih juga terasa.
Ya Rabbi, sungguh inilah pengalaman pertama aku melalui gempa sehebat ini. Tak terbayangkan kondisi 2004 lalu yang pastinya jauh lebih menyeramkan.
Didalam mobil sambil berzikir kami terus memantau siaran radio guna mengetahui sejauh mana dampak dari gempa hari ini, serta informasi terkini dari BMKG. Dan memang sudah di berlakukan status potensi tsunami.
Akhirnya, kami memutuskan untuk kembali ke dalam mesjid. "Insya Allah disini juga akan aman", suami mencoba menghibur. Didalam mesjid juga sudah ramai orang, disetiap colokan listrik sudah penuh dengan cash Hp yang didominasi para mahasiswa. Kami pun mengalah meskipun baterai telepon genggam kami sudah lowbat semua. "Mungkin mereka lebih membutuhkannya untuk komunikasi dengan orangtua di luar daerah. Alhamdulillah kami sudah berkumpul semua disini, dan orang tua pun sudah mengetahui bahwa kami selamat dan sudah menuju tempat yang lebih aman.
Adzan maghrib pun berkumandang. Subhanallah saf shalat jamaah maghrib itu terasa seperti di bulan Ramadhan, penuh. Ini juga hikmah dibalik kejadian sore tadi.
Usai shalat maghrib, kami masih belum berani beranjak pulang, karena belum mendapat kepastian apakah status potensi tsunami telah berakhir atau belum?, meskipun sebagian orang ada yang sudah memutuskan untuk kembali kerumah masing-masing.
Di mesjid itu pula aku mulai merasakan suasana camp pengungsian sekitar delapan tahun yang lalu. Kami saling berkenalan sesama pengungsi. Saling tolong-menolong, berbagi.
Usai melaksanakan shalat isya kami mendapat kabar baik, bahwa status potensi tsunami telah berakhir dan listrik yang awalnya padam telah menyala. Dengan Bismillah kami pun kembali kerumah di daerah Lamgugob.
Meskipun hanya beberapa jam berkumpul bersama dalam suasana yang menakutkan, aku dan suami belajar banyak hal hari itu.
Pemandangan malam itu sungguh tidak seperti biasanya, ramai dan sebagian daerah masih gelap karena pemadaman. Namun yang paling mencolok adalah terlihat beberapa orang berseragam biru melangkah lambat dijalanan. tatapan matanya kosong. Kami pun bertanya-tanya siapakah orang2 itu?. Setiba dirumah sekitar pukul 21.00 kami membaca koran online dan mengetahui bahwa mereka yang lalu lalang berseragam biru tadi adalh orang2 yang keluar dari rumah sakit jiwa. Semoga Allah melindungi mereka semua!!
Hanya pada Allah kami menggantungkan diri. Karena berharap pada harta sirna, berharap pd teman tiada, berharap pada atasan binasa, berharap pada suami/isteri meninggal, namun berharap pada Allah kekal abadi.
Mohon belas kasihanmu ya Allah!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H