Hai, semua! Rafka mau sharing sedikit, sekaligus nanya ke kalian, gimana rasanya punya ayah? Soalnya, ayahku meninggal sebelum aku lahir. Sampai sekarang, di usiaku yang udah 22 tahun, aku masih belum tahu di mana makam Ayahku. Keluarga dari nenek juga tidak tahu.
Dulu, semasa kecil, aku sering banget ditakut-takuti. "Kalau nakal, nanti kamu diantar ke rumah nenek ayah!" Begitu katanya. Ya ampun, betapa takutnya aku! Setiap kali denger kalimat itu, rasanya kayak dunia mau berakhir. Gimana bisa nakal kalau diancam gitu? Jadi, aku berusaha untuk jadi anak baik, biar gak diantar ke sana. Tapi, yang namanya anak kecil, ya, pasti ada aja tingkahnya.
Sejak kecil, aku tinggal bareng Mama, nenek, dan kakek dari Mama. Hidup kami sederhana, tapi penuh kasih sayang. Nenek dan kakek selalu berusaha bikin suasana di rumah jadi hangat. Tapi, ada kalanya, ketika melihat teman-teman yang punya ayah, hatiku terasa nyesek. Kenapa ya mereka bisa punya sosok yang bisa diajak ngobrol, dibawa jalan-jalan, atau sekadar minta nasihat?
Semua itu semakin terasa saat Mama menikah lagi waktu aku kelas 2 SD. Rasanya campur aduk; aku senang Mama bahagia, tapi di sisi lain, ada rasa cemburu saat melihat sosok ayah tiriku yang bisa mengisi kekosongan itu. Sayangnya, harapanku untuk mendapatkan sosok ayah yang hangat dan penuh kasih sayang hancur ketika aku menyadari bahwa ayah tiriku bukanlah sosok yang baik.
Di depan Mama, dia manis banget. Tapi, begitu Mama tidak ada, sifat aslinya mulai terlihat. Dia jadi jahat, kasar, dan menyebalkan. Rasanya seperti ada dua orang yang berbeda dalam satu tubuh. Aku merasa terjebak di antara keduanya, di mana saat Mama ada, dia bisa bersikap manis, tapi begitu Mama pergi, dia memperlihatkan sisi gelapnya yang membuatku merasa takut dan terasing.
Aku sering merasa seperti anak tiri dalam rumah itu. Aku berusaha untuk tidak terlibat konflik, tapi kadang-kadang kata-katanya menyakiti perasaanku. Dia sering sekali mengkritik, dan kadang berbuat tidak adil. Semua itu membuatku merasa tertekan, seolah-olah tidak ada tempat yang aman untukku di rumah itu.
Ada kalanya aku pengen teriak dan bilang, "Ini bukan ayah yang aku inginkan!" Tapi aku tahu, semua itu bakal bikin suasana jadi lebih buruk. Jadi, aku memilih untuk diam dan menjaga jarak. Hal yang paling aku takutkan adalah ketika Mama tidak ada. Rasanya seperti hidup dalam ketakutan setiap hari.
Saat-saat awal pernikahan mereka, aku sering merasa terasing. Teman-teman di sekolah bercerita tentang pengalaman mereka bersama ayah mereka, sedangkan aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Rasanya seperti menjadi orang asing di tengah keluarga sendiri.
Satu momen yang selalu teringat adalah saat ulang tahun ke-10. Teman-teman pada datang bawa kado, dan ada yang tanya, "Rafka, ayah kamu ngasih apa?" Di situ, semua mata langsung tertuju ke aku. Rasanya pengen bersembunyi di bawah meja. Aku cuma bisa bilang, "Nggak ada," dengan suara pelan. Saat itu, aku pengen banget ada ayah yang nyiapin kado spesial untukku.
Seiring waktu, aku mulai mencari tahu tentang Ayahku. Mencari tahu siapa dia, apa hobi dan mimpinya. Dari cerita nenek dan Mama, aku bisa merasakan sosoknya. Aku teringat betapa kuat dan baiknya dia, meski aku tidak pernah bertemu langsung. Itu memberi semangat baru bagiku, seakan-akan Ayahku tetap hidup dalam setiap langkahku.
Sekarang, aku berusaha untuk tidak terus-menerus terpuruk dalam kesedihan. Aku mulai menggali minat dan bakatku. Aku menemukan passion di dunia seni dan menulis, yang membuatku merasa hidup. Setiap kali aku berkarya, rasanya kayak bisa berbicara dengan Ayah, seolah dia ada di sampingku memberi semangat.