Mohon tunggu...
Hari Cemani
Hari Cemani Mohon Tunggu... -

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Politik

Koalisi, Banyak Manfaat Atau Mudharatnya?

5 Mei 2014   15:34 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:51 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dengan semakin dekatnya jadwal pilpres, semakin asyik pula buat sebagian masyarakat Indonesia - apalagi media - untuk mengutak-atik siapa kira-kira yang akan menjadi pasangan cawapres dari capres-capres tertentu. Bak seheboh jaman dulu ketika masyarakat benar-benar larut mereka-reka kode buntut di masa Orba. Bisa jadi para pengamat politik juga ikut bersuka-ria karena job analisis mereka di televisi jadi ikut terdongkrak.

Lebih heboh lagi para simpatisan pendukung capres tertentu yang semakin panas bertukar cemo’ohan di kolom komentar media online. Mereka saling mengagung-agungkan prestasi calon pemimpinnya dan dengan berbagai argumen berusaha menjatuhkan capres kompetitornya. Satu fenomena yang kurang sedap dipandang mata sebenarnya, tapi ini adalah bagian dari realitas di masyarakat kita.

Satu hal lagi yang menarik dari sistem demokrasi kita yang dapat membuat putaran pilpres menjadi “hidup semakin lebih hidup”, adalah fenomena poros-porosan. Fenomena yang satu ini memang seperti unsur “bola liar” dalam sistem demokrasi kita, yang bak dunia persinetronan dapat melencengkan alur cerita berkembang menjadi semakin ngalor-ngidul. Bagaimana tidak, belajar dari pemilu terdahulu setelah pasca pencoblosan, amanah mayoritas rakyat yang memenangkan pilihan A, dalam sekejap mata melalui aksi akrobat patgulipat, bisa saja berubah 180 derajat menjadi pilihan B. Tinggallah rakyat yang gigit jari terbengong-bengong bingung menelaah apa yang sebenarnya telah terjadi. Dengan kata lain, koalisi ini sebenarnya adalah sistem yang tidak menghormati amanah rakyat.

Sejatinya, fenomena poros-porosan yang kemunculannya dipicu oleh undang-undang koalisi, pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat kita pada pemilu era reformasi tahun 1999. Awal tercetusnya memang adalah itikad baik dari kalangan legislatif untuk menampung aspirasi publik yang demikian heterogen dengan keaneka-ragaman unsur budaya, agama, suku dan lain sebagainya. Bisa dibilang semangat awalnya adalah bermusyawarah untuk mufakat dan membentuk pemerintahan yang solid. Namun perkembangannya ke depan, ternyata malah mengarah pada fakta-fakta yang mengejutkan yang mungkin tidak pernah diprediksi oleh orang-orang DPR itu sendiri.

Bahkan kegaduhan ekses koalisi tenyata tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Pasca pileg masih saja lintas partai tiba-tiba berperangai genit bak gadis perawan menanti pinangan sang arjuna. Para petinggi partai tiba-tiba saja di belakang layar saling main-mata, lirik-lirikan, main cocok-cocokan. Ideologi partai yang katanya mendasari alasan berdirinya sistem multipartai mulai dikesampingkan, dibarter dengan iming-iming jatah-jatahan. Walaupun di depan media mereka memberi pernyataan tidak memiliki niatan transaksional, tetap saja aroma skeptis kolusi sudah menyengat kemana-mana.

Presiden terpilih melalui sistem koalisi ternyata juga tidak bisa melenggang gagah dalam kepemimpinannya. Indepedensinya dalam banyak praktik yang sudah berjalan selama ini, ternyata juga harus tersandera  dengan gerusan recok nyinyir kompatriotnya sendiri, baik di lingkup kabinet maupun parlemen. Bisa ditebak kalau selanjutnya kebijakan strategis roda pemerintahan tidak pernah berputar optimal untuk kemaslahatan rakyat.

Yang lebih mengenaskan lagi, dampak langsung dari sistem koalisi ke dalam lingkup internal partai juga bisa memicu disharmoni antara petinggi dan kadernya. Petinggi maunya bergabung dengan partai A, kader kepinginnya dengan partai B. Maka dimulailah sajian drama babak baru yang menambah semarak media televisike tengah-tengahpemirsa yang makin terbengong-bengong dengan “kedewasaan” mentalitas elite parpol di negeri ini. Lebih kurang sedap lagi, ternyata undang-undang ini juga membidani munculnya partai-partai gurem yang disinyalir hanya menjadi rente politik dengan berkoalisi menggantungkan kelangsungan hidupnya dari santunan uang negara.

Mungkin masih segar dalam ingatan kita bagaimana carut-marutnya kebijakan yang saling tumpang tindih antar departemen dalam ranah ketahanan pangan versus serbuan produk-produk impor beberapa bulam silam. Kalau sudah begini, biasanya senjata pamungkas untuk mencari kambing hitam dengan saling tuduh-menuduh langsung muncul. Tentu saja apabila ditarik benang merahnya, mudah saja buat kita untuk menarik kesimpulan, “Lha wong menteri-menterinya saja orang lintas partai, bagaimana mereka mau bekerja profesional fokus mengurusi masalah urgensi negara?”

Entahlah, kadang-kadang timbul buruk sangka saya bahwa para elite di negeri kita ini memang lebih senang menyesatkan rakyat dan dirinya sendiri supaya rakyatnya bodoh permanen dan gampang digombalin selama-lamanya.

Pada akhirnya, inilah ekses perundang-undangan yang menjadi realita di tengah-tengah masyarakat kita. Mau maju atau tidak, keputusan tentu ada di tangan rakyat karena kita adalah negara demokrasi. Memang betul nasib kita diwakilkan pada badan legislatif, tapi apabila rakyat sebagai stake holder bersikap apatis, ya jangan salahkan DPR-nya kalau masih saja melangkah lurus dalam kegelapan. DPR adalah lembaga tinggi negara yang tidak bisa dijatuhkan oleh siapa pun termasuk presiden, kecuali oleh si pemberi amanah itu sendiri yaitu rakyat.

Semakin maju suatu negara biasanya sistem pemilunya semakin simpel dan semakin transparan. Banyak negara maju yang menerapkan sistem “swap” yang biayanya murah karena cuma 1 putaran dan bersistem online, dan yang paling penting tujuannya adalah mengeliminir agarapa yang menjadi aspirasi rakyat tidak melenceng jauh dari hasil pilihannya. Sedangkan sistem koalisi adalah antithesis yang boros anggaran dan suka memperumit dan membingungkan semua orang, bahkan mungkin orang-orang di lintas parpol dan DPR sendiri. Saya nggak tahu harus senang atau bersedih dengan sistem yang rumit ini, karena mungkin buat sebagian orang, kerumitan adalah indikasi banyaknya “orang cerdas” di negeri ini.

Dibalik ekses-ekses yang kurang sedap dipandang mata ini, ternyata ada juga tokoh yang peduli dengan kesemrawutan sistem politik kita dengan mengajukan uji materi terhadap undang-undang pemilu. Dan tindak lanjut dari aksi ini, sepertiyang dihembuskan Mahkamah Konstitusi, bahwa pada tahun 2019 mendatang akan dilangsungkan pemilu serentak legislatif-eksekutif. Buat penulis sih, esensi masalah bukan padatimingnya tapi pada tujuan akhirnya supaya aspirasi rakyat tidak melenceng jauh kemana-mana. Apalagi yang menjadi catatan, katanya Presidential Threshold 20% yang menjadi pemicu munculnya koalisi masih dipertahankan. Saya sendiri nggak punya bayangan bagaimana ke depannya konsekuensi kebijakan – yang menurut saya kontradiktif – ini. Mungkin ada Kompasioner yang mau berbagi pendapat?

NB: Ssssstt....! Jangan percaya kalau ada yang bilang parpol itu siap menang dan kalah...kalau kalah toh kan masih ada koalisi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun