Peristiwa meninggalnya seorang bocah usia SD di Tasikmalaya, Jawa Barat di bulan Juli ini yang depresi akibat perundungan oleh teman-temannya telah telah mengaduk-aduk nalar perasaan publik.
Bocah tersebut dipaksa menyetubuhi kucing sambil direkam menggunakan telepon selular. Video peristiwa perundungan yang dialami korban menjadi trending dan tersebar di media sosial.
Menurut berbagai pemberitaan, korban sempat depresi kemudian meningal dunia. Kejadian ini telah menimbulkan kegelisahan berjama'ah, terutama di kalangan orang tua. Kejadian ini bukti paling gres jika anak-anak juga menjadi pelaku perundungan terhadap teman sebayanya.
Peristiwa yang dialami bocah SD di atas, seakan telah mencoreng perayaan Hari Anak Nasional (HAN) 2022 yang mengusung tema "Anak Terlindungi, Indonesia Maju".Â
Memang, HAN diperingati sebagai bentuk kepedulian terhadap anak-anak Indonesia dalam pemenuhan hak-haknya. Yakni hak hidup, tumbuh, berkembang, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Harapannya, kelak anak-anak menjadi generasi emas dan berkarakter serta memiliki peran strategis sebagaimana yang tercantum dalam buku panduan HAN 2022 yang dikeluarkan oleh kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Bagi penulis, setiap orang hendaknya terlibat aktif melakukan pemenuhan hak anak dan melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan. Mengingat, anak merupakan generasi penerus di masa mendatang.Â
Pertama, memperkenalkan sentuhan aman dan tidak aman pada anak. Orang tua khususnya, perlu mengajarkan kepada anak agar berani berkata "TIDAK" terhadap orang yang akan menyentuhnya. Setidaknya ada 4 area pribadi anak yang haram hukumnya disentuh oleh orang lain yaitu: mulut, dada, kelamin dan pantat.
Kedua, mengajarkan pendidikan kesehatan reproduksi sejak usia dini atau ketika anak sudah mulai bertanya. Ada 4 kata kunci Kesehatan reproduksi, yaitu sehat fisik, psikis, seksual dan sehat sosial. Saat ini sudah tidak perlu "malu" atau menganggap tabu istilah pendidikan seks sejak dini karena pada kenyataannya anak-anak telah terpapar konten dari internet.
Ketiga, orang tua juga perlu memperhatikan dan menyimak dengan seksama cerita yang disampaikan anak. Agaknya setiap orang perlu memposisikan dirinya sebagai anak atau bersedia melihat dari sudut pandang mereka. Dengan begitu, seseorang akan belajar menghargai.
Keempat, sebagai orang tua hendaknya memiliki kontak lembaga/instansi jika membutuhkan pertolongan dan layanan ramah anak. Saat ini, hampir merata di seluruh kabupaten/kota bahkan kecamatan pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak yang memiliki konsen terhadap isu perlindungan anak.
Kelima, sebagai individu dan warga negara agar terlibat aktif dalam kampanye pencegahan kekerasan terhadap anak. Kita bisa memulainya dari lingkungan terdekat, komunitas. Bersama dengan masyarakat lainnya juga bisa meminta negara segera menuntaskan kebijakan yang berperspektif anak.
Kegiatan-kegiatan seremonial oleh pemangku kepentingan yang sering kali menghabiskan anggaran, agaknya perlu segera diganti dengan yang lebih mencerminkan kualitas dibanding kuantitas. Misalnya, melibatkan anak dalam setiap pengambilan keputusan. Bagaimana mungkin mengambil keputusan terbaik bagi anak namun tidak melibatkan mereka? Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H