Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghargai Pilihan, Inikah Sebabnya?

13 April 2022   14:57 Diperbarui: 30 Juni 2022   10:06 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai pribadi yang masih dalam taraf berproses menghargai keragaman, tampaknya saya perlu belajar agar bersedia menerima pilihan pandangan seseorang sebagaimana apa adanya, bukan sebagaimana seharusnya.

Bagi saya, agar dapat memahami dan menghargai pilihan seseorang tampaknya setiap individu perlu memiliki banyak referensi. Baik yang berkaitan dengan sudut pandang sosial, agama maupun budaya. 

Mengapa ada saja jenis manusia yang "senang" mengomentari bentuk fisik seseorang; pipi, dagu, mulut, dahi, bibir, hidung, jenggot, kumis, bentuk tubuh dan bahkan jenis pakaian yang dipilih oleh seseorang?

Kalau tubuhnya subur memangnya kenapa? Kalau ramping memangnya masalah? Kalaupun hidungnya tidak mancung  bukankah tetap bisa bernafas? Meskipun memelihara jenggot bukankah tidak perlu di stigma radikal? Kalaupun memilih tidak berjilbab apakah perlu dihukumi salah dan menentang ajaran tuhan?

Kita semua memahami jika munculnya perbedaan pilihan/pandangan oleh karena berbagai penyebab. Misalnya sebab alamiah, ilmiah dan sebab teologis. Menurut hemat saya apapun penyebab dari perbedaan tersebut tetap saja kita tidak memiliki hak untuk menghakiminya. 

Masalahnya begini, jika ada seseorang yang memilih memakai blangkon kenapa (terkadang) masih ada yang menuduh tidak sesuai dengan ajaran agama? Ketika memilih memakai sarung, rok, kebaya dan pakaian jenis lainnya bukankah prinsipnya berpakaian (menutup aurat)? 

Atau begini, jika pada dasarnya kidal mengapa dipaksa harus tidak kidal? Bukankah kita memahami ekspresi? Bukankah kita mengenal otoritas tubuh? Bukankah kita juga telah mengetahui identitas dan pembagian peran? Bukankah kita mengetahui ekspresi peran? Mengapa masih ada saja yang "menghukumi" salah terhadap pandangan orang lain dengan pandangan yang didasarkan pada nilai-nilai tertentu?

Bukankah kita semua memahami jika Tuhan telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya penciptaan? Bisakah kita membiasakan diri untuk menerima hasil penciptaan tersebut apa adanya?

Jika sudah bisa, tampaknya kita termasuk dari golongan manusia yang berperilaku inklusif, yaitu golongan yang memiliki pandangan bahwa keberadaan saya di dunia ini juga ditentukan oleh keberadaan orang lain.

Jika belum bisa, ada baiknya cukuplah untuk diam saja agar belajar tidak menghakimi orang lain. Atau begini, jika tetap ingin berkomentar cobalah untuk mengomentari diri sendiri saja. Mudah bukan? Wallahu a'lam. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun