Di dalam rumah tangga, suami dan istri tentu saja memiliki cara pandang yang tidak sama untuk mencapai "kesepakatan" menjalani kehidupan bersama. Salah satunya ketika berurusan dengan peran rumah tangga. Kita semua memahami jika hal tersebut bisa dilalukan secara bersama; tidak perlu ada pembedaan. Misalnya: Momong anak, memasak, mencuci, menyapu, dan bersih-bersih. Keduanya, bisa berperan.
Menurut hemat saya, istilah rumah tangga bukan berarti "melebur" menjadi satu pikiran satu pandangan, akan tetapi menjalani kehidupan bersama dalam ikatan komitmen atas dasar penghargaan dan penghormatan dengan mengedepankan prinsip kesalingan. Saling berbagi peran, saling mendukung, saling menjaga. Atau dalam bahasa lain tidak ada dominasi dari satu pihak kepada pihak yang lainnya.
Meskipun begitu, masih ada sebagian kalangan yang berpendapat jika pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai tugas kewajiban perempuan (baca: istri).Â
Sebaliknya, laki-laki (suami) sebagai pencari nafkah, pemberi nafkah, pengambil keputusan. Anggapan tersebut biasanya muncul dari berbagai macam faktor; kebiasaan, budaya, pengetahuan, pengalaman turun-menurun dan tafsir ajaran agama. Boleh jadi inilah faktor penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan 2022, kasus kekerasan terhadap perempuan paling menyedot perhatian adalah yang terjadi di ranah personal, sebanyak 7.770 kasus dengan kasus yang mengemuka terbagi dalam empat isu utama, yaitu Kekerasan Terhadap Istri (KTI), Kekerasan Mantan Suami (KMS) atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Berlanjut, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), dan Kekerasan Terhadap Anak Perempuan (KTAP).
Adanya anggapan yang menyebutkan bahwa tugas istri hanyalah "melayani" suami tampaknya perlu ditinggalkan, bahkan perlu dilawan agar posisi istri tidak selalu dianggap "lemah" dan inferior.Â
Sebaliknya, anggapan yang menyebut jika suami sebagai pencari nafkah satu-satunya juga perlu di buang jauh agar para suami tidak memanfaatkan situasi ini. Meskipun suami sering kali dianggap sebagai kepala keluarga, hal ini bukan berarti sebagai penguasa keluarga.
Kita semua memahami jika urusan mencari nafkah adalah hak setiap individu, tidak dibatasi dan ditentukan oleh jenis kelamin; laki-laki atau perempuan memiliki hak yang sama mencari nafkah.Â
Lalu mengapa ketika dalam urusan rumah tangga, istri dan anak perempuan hampir selalu yang diwajibkan mengerjakannya? Bahkan terkadang  diancam "dosa" dan dituduh tidak berbakti kepada suami?
Jika kita sepakat bahwa Rumah Tangga adalah sarana berproses memahami, menjalani kehidupan dan menghargai komitmen pernikahan dalam rangka mewujudkan keluarga yang dilandasi cinta dan penuh kasih sayang demi tercapainya rumah tangga yang memberikan ketentraman hidup. Maka segala bentuk pekerjaan yang ada di dalamnya merupakan tanggung jawab bersama.
Penulis meyakini, dengan pembagian peran, komitmen menghadirkan hubungan yang dilandasi prinsip keadilan dan kesetaraan sebagaimana manusia ingin diperlakukan, maka KDRT dapat dicegah. Lebih dari itu jika ada masalah di dalam Rumah Tangga juga dengan mengedepankan komunikasi dua arah (musyawarah) mufakat.
Sebagai catatan penutup, saya ingin mengutip sebuah hadist; "Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, "Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya" (HR .HR. At-Tirmidzi, 3/466; Â Ahmad, 2/250 dan Ibnu Hibban, 9/483. Hadits dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani). Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H