Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Karena Setiap Anak Itu Unik, maka Mendidiknya Butuh Kesabaran

21 Maret 2022   13:45 Diperbarui: 25 Maret 2022   23:54 1592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tidak pernah berhenti belajar | Sumber: pixabay.com

Setiap anak adalah pribadi unik, dapat dilihat dari kemampuan, cara belajar, dan hal-hal yang mampu menarik perhatiannya. Oleh karenanya, pola asuh orang tua tampaknya perlu mempertimbangkan kondisi psikologis anak agar pendidikan yang ia dapatkan menyenangkan, ramah, segala kebutuhan dasar tercukupi serta selalu mengedepankan nilai kesetaraan dan keadilan.

Apa yang tersaji di dalam tulisan ini bukanlah standar baku yang langsung dapat diimplementasikan terhadap semua anak. Karena, apa yang akan saya uraikan di dalam tulisan ini merupakan catatan pribadi saya dalam menemani tumbuh kembang anak perempuan saya, yang saat ini berusia 5 tahun (lahir 2017). Tentu saja tulisan ini mengandung bumbu "penyedap" berdasarkan referensi yang pernah saya dapatkan.

Dulu bahkan dulu sekali, saya pernah mendapatkan cerita dari simbah, simbok (ibu), bapak, pak lik (Om), pakde (uwak) dan keluarga saya yang lain. 

Mereka mengungkapkan bahwa setiap anak memiliki "langgam" (pembawaan) masing-masing. 

Langgam ini sifatnya unik. Saking uniknya langgam tersebut, terkadang orang tua membutuhkan pengetahuan dan energi untuk sekedar menebak (menafsirkan) apa yang menjadi keunikan anaknya.

Saya termasuk orang yang mempercayai 2 hal. Pertama, bahwa anak membutuhkan perlindungan dari orang tuanya, baik untuk perkembangan emosinya, cara berpikirnya, ketahanan psikis dan fisiknya serta model interaksinya dengan teman sebaya. 

Kedua, anak juga memiliki kemampuan (kapasitas) bertumbuh dan berkembang yang sama dengan orang yang lebih dewasa, baik tentang kesempatan, potensi, pengetahuan atau bahkan yang lainnya.

Ilustrasi | Sumber: hpixabay.com
Ilustrasi | Sumber: hpixabay.com

Bagi penulis, kedua hal tersebut di atas boleh jadi merupakan bentuk keunikan dari Yang Maha Kuasa bagi setiap manusia, termasuk anak. 

Ketika merespon keunikan tersebut, orang tua terkadang memiliki cara dan pendekatan yang tidak sama, baik disandarkan kepada informasi/pengalaman secara turun temurun, otodidak, atau karena pengaruh "doktrin" tertentu atau bahkan karena tidak memiliki referensi yang cukup. 

Walhasil, tidaklah mengherankan ada banyak kasus kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang tuanya. Salah satu penyebabnya menurut saya karena belum (tidak) mampu mengelola keunikan anak. 

Orang tua terkadang lebih "suka" menyalahkan ketimbang introspeksi diri jika anak dianggap melakukan "kesalahan". 

Jangan lupa, anak adalah "peniru" terbaik tingkah laku orang tuanya. Termasuk dalam hal menyelesaikan masalah.

Selain itu, anak juga merasa dirinya telah mampu melakukan berbagai hal karena pada dasarnya anak juga seperti orang dewasa. Meskipun kenyataannya anak juga memiliki tantangan tersendiri ketika berusaha meniru perilaku orang tuanya. 

Contoh ibunya dandan, anak juga ikut dandan. Bapaknya pakai sarung, anak juga pakai sarung. 

Menurut buku "Daily Parenting" karya Rudi Cahyono yang pernah saya baca, proses meniru yang dilakukan anak bisa sampai pada usia 7 tahun.

Ilustrasi tidak pernah berhenti belajar | Sumber: pixabay.com
Ilustrasi tidak pernah berhenti belajar | Sumber: pixabay.com

Di sinilah tantangan sebagai orang tua dimulai. Terkadang saya ingin terlibat "membantu" anak ketika saya menganggap bahwa anak butuh bantuan. 

Masalahnya begini, jika saya terlihat "mengatur" dalam membantu anak, maka anak saya pernah merasa dianggap belum mampu, tampak merasa kurang senang, merasa dianggap "remeh" dan perasaan-perasaan lain yang agak mirip dengan hal tersebut. 

Di sisi lain, jika anak tidak mendapat bantuan, saya juga punya anggapan bahwa anak memang belum/tidak bisa. Wah, tidak mudah kan?

Mungkin masalahnya ada di otak saya yang masih "memelihara" doktrin jika anak belum cakap dan belum cukup usia untuk melakukan aktivitas tersebut. 

Atau karena saya juga masih mempertahankan pandangan tentang "batas" usia tertentu bahwa anak bisa mendapatkan keleluasan mengeksplorasi kegiatannya. 

Contoh sederhana yaitu ketika orang tua berusaha membantu anak menaiki sepeda. Mungkin saya bisa menarik atau mendorong sepedanya. Jika sepeda sudah jalan. barulah saya melepaskan dengan lega dan nyaman.

Masalahnya, membantu anak tidaklah semudah melatih ketrampilan naik sepeda. Ada saja "keluhan" anak terhadap saya. Dari yang bapaknya diminta pergi, sampai disuruh menunggu di suatu tempat oleh anak agar tidak terlibat membantu. Apakah saya salah ketika membantu anak? 

Dalam hal ini, saya akhirnya bisa belajar memahami bahwa anak juga memiliki hak menolak atau mengungkapkan protes terhadap bantuan saya jika merasa tidak nyaman. 

Umpan balik atau reaksi anak yang belum bersedia menerima bantuan tersebut perlu disikapi sebagai hal yang lumrah.

Sebagai orang tua, saya tidak perlu marah, tersinggung dan tidak perlu gengsi jika anak mengajukan komplain. 

Bersikaplah secara wajar dan bijaksana. Karena, jika menanggapinya tidak terukur saya agak khawatir anak akan merasa tidak dihargai atau bahkan meninggalkan "bekas" secara psikis. 

Eh, ternyata orang tua juga bisa melakukan "kesalahan" dalam proses-proses mendidik anak. Baik yang telah disadari maupun yang belum. Saya juga terbiasa tidak sabar ingin segera membantu anak ketika anak terlihat mengalami "kesulitan" melakukan sesuatu. 

Padahal sebenarnya saya bisa mengamati terlebih dahulu atau setidaknya meminta persetujuannya sebelum langsung membantu. Tapi ya itu tadi, namanya tidak sabaran ada saja alasannya.

Di momen seperti inilah hendaknya orang tua tidak memaksakan keinginannya. Anak juga memiliki imajinasi sendiri tentang apa yang akan dilakukan, dan apa yang akan terjadi setelahnya. 

Namun, tanpa disadari justru saya memberikan bantuan sesuai selera dan sesuai kemauan saya. Akibatnya kalian bisa tebak sendiri. Terjadilah "ketegangan" antara anak dan orang tua. Jadi permenungan saya begini, bahwa pengetahuan itu luas namun hidup itu singkat.

Sebagai catatan penutup, saya hanya ingin menitip pesan kepada para orang tua, bahwa anak bukanlah properti atau barang yang dapat diatur seenaknya oleh pemiliknya sesuka hati. 

Kepentingan terbaik bagi anak, sebaiknya menjadi goal dalam menemani tumbuh kembang anak.

Meminjam istilah KH. Bahauddin Nur Salim atau yang akrab disapa Gus Baha pernah mengatakan bahwa dalam urusan mendidik anak tidak perlu keras, agar suatu hari nanti anak mengingat akan jasa/perjuangan orang tuanya. 

Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun