Walhasil, tidaklah mengherankan ada banyak kasus kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang tuanya. Salah satu penyebabnya menurut saya karena belum (tidak) mampu mengelola keunikan anak.Â
Orang tua terkadang lebih "suka" menyalahkan ketimbang introspeksi diri jika anak dianggap melakukan "kesalahan".Â
Jangan lupa, anak adalah "peniru" terbaik tingkah laku orang tuanya. Termasuk dalam hal menyelesaikan masalah.
Selain itu, anak juga merasa dirinya telah mampu melakukan berbagai hal karena pada dasarnya anak juga seperti orang dewasa. Meskipun kenyataannya anak juga memiliki tantangan tersendiri ketika berusaha meniru perilaku orang tuanya.Â
Contoh ibunya dandan, anak juga ikut dandan. Bapaknya pakai sarung, anak juga pakai sarung.Â
Menurut buku "Daily Parenting" karya Rudi Cahyono yang pernah saya baca, proses meniru yang dilakukan anak bisa sampai pada usia 7 tahun.
Di sinilah tantangan sebagai orang tua dimulai. Terkadang saya ingin terlibat "membantu" anak ketika saya menganggap bahwa anak butuh bantuan.Â
Masalahnya begini, jika saya terlihat "mengatur" dalam membantu anak, maka anak saya pernah merasa dianggap belum mampu, tampak merasa kurang senang, merasa dianggap "remeh" dan perasaan-perasaan lain yang agak mirip dengan hal tersebut.Â
Di sisi lain, jika anak tidak mendapat bantuan, saya juga punya anggapan bahwa anak memang belum/tidak bisa. Wah, tidak mudah kan?
Mungkin masalahnya ada di otak saya yang masih "memelihara" doktrin jika anak belum cakap dan belum cukup usia untuk melakukan aktivitas tersebut.Â