Setiap anak berhak memilih dan memutuskan bentuk panggilan kepada orang tuanya, mama, papa, bunda, panda, umi, abi, mimi, pipi, bapak, ibu, simbok, mamak, bapak dan panggilan lainnya ternyata ada hubungannya dengan kebiasaan dan kondisi sosial serta ada pengaruh doktrin budaya. Meskipun begitu, panggilan merupakan suatu kebanggaan.
Saya misalnya, yang dilahirkan dari keluarga petani desa rasanya enggak cocok banget kalau memanggil orang tua saya dengan sebutan mami, papi, ayah-unda, memo-pepo, apalagi umi dan abi. "Simboke bae" (simbok saja), kata simbok suatu ketika menjelaskan kepada saya.
Masih terekam dalam memori ingatan saya, sekitar tahun 90an memang sudah mulai ada bibit dan gejala perubahan panggilan kepada orang tua dari simbok ke mama, dari bapak ke papa, dari ibu ke umi, dari bapak ke abi. Saya tidak tahu pasti hal ini terjadi karena pengaruh dari pihak lain (luar) atau karena ada perubahan dari dalam (interna) orang tua sendiri agar tampak lebih mengikuti perkembangan zaman, atau ingin lebih keren atau bahkan agar lebih up to date dan "modern".
Bagi saya, sah-sah saja setiap orang ingin merayakan ragamnya jenis panggilan kepada orang tuanya. Hanya saja, saya terkadang merasa ada yang kurang "sreg" ketika menjumpai seseorang memanggil dengan sebutan Mami-Papi hanya karena ingin tampil keren seperti dalam berbagai tayangan sinetron. Atau begini, alangkah lucunya jika saya pulang ke kampung halaman tiba-tiba memanggil simbok saya dengan sebutan mami lalu memanggil bapak saya papi. Sungguh katakpun ikut tertawa.
Saya jadi teringat ceramahnya KH.Anwar Zahid yang sempat viral beberapa waktu lalu yang mencoba memparodikan fenomena perubahan panggilan: "Papi, kalau nanti Papi mau ngarit, jangan lupa nyangking carang ya, Mami mau ngeliwet." (papi, kalau papi akan mencari rumput, jangan lupa bawa kayu bakar, mami mau masak nasi)
Meskipun hanya sebuah parodi, saya menafsirkannya sebagai suatu "sindiran" kepada orang-orang tertentu. Menurut saya, parodi itu ingin menggambarkan kenyataan antara pas dan tidak pas, bukan boleh dan tidak boleh. Atau bahkan sebaliknya, parodi ini adalah jenis humor tingkat "tinggi" sebagai bentuk perlawanan anak zaman sekarang kepada orang tua agar tidak tabu lagi menggunakan panggilan yang disesuaikan dengan kondisi zaman. Jika zaman berubah panggilanpun berubah.
Di daerah kelahiran saya, Banjarnegara, panggilan "ibu" dan "ayah" saya anggap sebagai kemajuan yang luar biasa. Karena begini, ketika saya masih kecil, rata-rata teman sebaya saya memanggil orang tua mereka dengan sebutan "simbok-bapak", tidak banyak yang memanggil dengan sebutan "Ibu-Ayah". Waktu itu, kata "Ibu-Ayah" adalah termasuk panggilan "mewah" yang biasanya hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya adalah "terpandang" dengan profesi pekerjaan tertentu. Misalnya guru, Hakim, Jaksa, pegawai negeri sipil, POLISI, TNI, pegawai BANK, dan lainnya. Â
Dalam pemahaman saya, karena saat ini adalah era keterbukaan, akses informasi yang sangat cepat dan kesetaraan sudah meningkat serta mulai lunturnya sekat sosial. Akhirnya, setiap orang sudah lebih terbuka dan bebas menggunakan jenis panggilan yang nyaman, disukai, menyesuaikan zaman. Selain sebagai bentuk dari ekspresi kebahagiaan.
Petani, buruh, karyawan swasta, pekerja rumah tangga dan pekerja lain yang pada zaman dahulu dianggap kelas sosial tidak priyayi, saat ini sudah sangat biasa menggunakan panggilan "mama-papa", "ayah-bunda", "mami-papi", "abi-umi". Memang, idealnya suatu panggilan tidak perlu dihalangi oleh status sosial tertentu. Meskipun, terkadang ada juga tipe orang yang lebih nyaman menggunakan jenis panggilan yang lebih umum. Alasannya, agar tidak ada skat psikologis.
Munculnya perubahan panggilan anak kepada orang tua tampaknya juga memengaruhi panggilan dalam pergaulan sehari-hari. Sapaan dari "gaes", "bro - sister", "ane - ente", "cuk", "dhab" sampai "akhi-ukhti", dan jenis ragam panggilan akrab lainnya dapat kita jumpai dengan mudah di sekitar kita.
Menurut pendapat saya, perubahan dan ragamnya panggilan-panggilan tersebut di atas telah menjadi tuntutan identitas bagi sebagian kalangan. Bagi saya, yang penting identitas tersebut tidak dimaknai sebagai kebenaran mutlak. Kita maknai saja sebagai alternatif atau sebagai variasi panggilan oleh sebab perkembangan zaman. Sebaliknya, bagi orang-orang seperti saya yang tetap menggunakan panggilan "SIMBOK", "BAPAK" tidak perlu dianggap ketinggalan zaman, dianggap tidak modern atau dianggap kadaluwarsa. Kita santuy saja, karena setiap individu memiliki hak untuk mengekspresikan bentuk panggilannya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H