"Di Wilayah Yogyakarta, pekerja seks langsung berada di sebelah barat Stasiun Tugu yang dikenal nama Bong Suwung, sebelah barat Malioboro yang dikenal dengan nama Sarkem, dan sebelah Timur Parangtritis, yaitu Parangkusumo sampai pesisir pantai Depok. Sedangkan pekerja seks tidak langsung berada di rumah-rumah, indekos/kontrakan, hotel, losmen dan karaoke area pariwisata Parangtritis dan Parangkusumo.Â
Pekerja seks memiliki karakter spesifik yang tidak dimiliki oleh pekerja seks lain yaitu sifat keintiman. Tetapi di sisi yang lain pekerja seks memiliki posisi tawar yang rendah dan tidak bisa menolak atas permintaan melayani para tamu ketika mendapat uang Rp.50.000 misalnya...", (hal 37).
waria Yogyakarta di masa pandemi covid-19 yang harus berjuang demi tetap bertahan hidup ditengah stigma, perlakuan diskriminatif dan penolakan-penolakan sebagian kalangan terhadap waria.
Buku ini menceritakan kondisiMasthuriyah Sa'dan, sang penulis telah menunjukkan kenyataan kepada para pembaca, khususnya kepada saya bahwa waria juga ingin menjalani hidup seperti pada umumnya manusia, meskipun dalam perjalanannya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Apalagi "dikepung" dari berbagai sudut pandang yang tidak jarang justru semakin merendahkan posisi waria di masyarakat.Â
Identitas mereka kerap dipertanyakan, bahkan sering kali dianggap sebagai the other (yang lain) karena memiliki kondisi yang tidak sama, bahkan sering kali dianggap tidak "normal". Karena yang berlaku umum adalah heteronormativitas atau orientasi seksual yang "normal" dan "sepatutnya" dimiliki oleh manusia atau dalam istilah lain hubungan seksual dan perkawinan yang paling "sesuai" untuk manusia adalah hubungan antar lawan jenis.Â
Buku "Solidaritas Waria" dibuka dengan kata sambutan dari Vinolia Wakijo, Direktur Yayasan KEBAYA Yogyakarta yang konsen memberikan pelayanan rumah aman (shelter) bagi waria yang hidup dengan HIV. Dalam sambutannya Vinolia menyatakan bahwa "...tidak menginginkan akan hidup sebagai waria, tetapi garis takdir "mengharuskan" hidup sebagai waria  tanpa adanya pilihan mau menerima atau menolak... ". Baginya, waria adalah garis Tuhan.Â
Buku ini membahas 14 topik-topik yang kontekstual. Mulai dari organisasi waria, potret kekeluargaan waria, pekerja seks dan covid-19 hingga serba serbi relasi komunitas waria. Waria misalnya, juga memiliki kontribusi luar biasa untuk melindungi Anak dari Kekerasan Seksual, sebagaimana yang dikisahkan oleh penulis di halaman 195. Waria, terlibat aktif melakukan pendampingan terhadap pekerja seks di bawah umur yang mengalami kekerasan seksual. Â
Meskipun waria mendapat penolakan dari berbagai kalangan, mereka tidak pernah berhenti memberikan kontribusi terhadap pencegahan dan pelindungan terhadap anak korban kekerasan seksual. Pertanyaan mendasarnya adalah, siapa yang melindungi waria di tengah penolakan keberadaannya?Â
Apapun yang dilakukan oleh waria tidak jarang dipandang sebelah mata, bahkan masih ada yang merasa masih "jijik" dengan keberadaan mereka. Boleh jadi orang-orang yang masih menolak waria juga korban dari konstruksi sosial dan sistem heteronormativitas.
Melalui buku ini, penulis telah memotret kehidupan waria yang terdampak secara sosial ekonomi. Mereka berusaha tetap bertahan hidup mulai dari mengamen di perempatan lampu merah, menjadi pekerja seks, pedagang aksesori, pengusaha, dan lain sebagainya.