Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berterima Kasih kepada Waria

5 Desember 2021   12:12 Diperbarui: 5 Desember 2021   12:28 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dokumentasi pribadi

"Di Wilayah Yogyakarta, pekerja seks langsung berada di sebelah barat Stasiun Tugu yang dikenal nama Bong Suwung, sebelah barat Malioboro yang dikenal dengan nama Sarkem, dan sebelah Timur Parangtritis, yaitu Parangkusumo sampai pesisir pantai Depok. Sedangkan pekerja seks tidak langsung berada di rumah-rumah, indekos/kontrakan, hotel, losmen dan karaoke area pariwisata Parangtritis dan Parangkusumo. 

Pekerja seks memiliki karakter spesifik yang tidak dimiliki oleh pekerja seks lain yaitu sifat keintiman. Tetapi di sisi yang lain pekerja seks memiliki posisi tawar yang rendah dan tidak bisa menolak atas permintaan melayani para tamu ketika mendapat uang Rp.50.000 misalnya...", (hal 37).

Sumber: Dokumentasi pribadi
Sumber: Dokumentasi pribadi
Buku ini menceritakan kondisi waria Yogyakarta di masa pandemi covid-19 yang harus berjuang demi tetap bertahan hidup ditengah stigma, perlakuan diskriminatif dan penolakan-penolakan sebagian kalangan terhadap waria.

Masthuriyah Sa'dan, sang penulis telah menunjukkan kenyataan kepada para pembaca, khususnya kepada saya bahwa waria juga ingin menjalani hidup seperti pada umumnya manusia, meskipun dalam perjalanannya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Apalagi "dikepung" dari berbagai sudut pandang yang tidak jarang justru semakin merendahkan posisi waria di masyarakat. 

Identitas mereka kerap dipertanyakan, bahkan sering kali dianggap sebagai the other (yang lain) karena memiliki kondisi yang tidak sama, bahkan sering kali dianggap tidak "normal". Karena yang berlaku umum adalah heteronormativitas atau orientasi seksual yang "normal" dan "sepatutnya" dimiliki oleh manusia atau dalam istilah lain hubungan seksual dan perkawinan yang paling "sesuai" untuk manusia adalah hubungan antar lawan jenis. 

Buku "Solidaritas Waria" dibuka dengan kata sambutan dari Vinolia Wakijo, Direktur Yayasan KEBAYA Yogyakarta yang konsen memberikan pelayanan rumah aman (shelter) bagi waria yang hidup dengan HIV. Dalam sambutannya Vinolia menyatakan bahwa "...tidak menginginkan akan hidup sebagai waria, tetapi garis takdir "mengharuskan" hidup sebagai waria  tanpa adanya pilihan mau menerima atau menolak... ". Baginya, waria adalah garis Tuhan. 

Buku ini membahas 14 topik-topik yang kontekstual. Mulai dari organisasi waria, potret kekeluargaan waria, pekerja seks dan covid-19 hingga serba serbi relasi komunitas waria. Waria misalnya, juga memiliki kontribusi luar biasa untuk melindungi Anak dari Kekerasan Seksual, sebagaimana yang dikisahkan oleh penulis di halaman 195. Waria, terlibat aktif melakukan pendampingan terhadap pekerja seks di bawah umur yang mengalami kekerasan seksual.  

Meskipun waria mendapat penolakan dari berbagai kalangan, mereka tidak pernah berhenti memberikan kontribusi terhadap pencegahan dan pelindungan terhadap anak korban kekerasan seksual. Pertanyaan mendasarnya adalah, siapa yang melindungi waria di tengah penolakan keberadaannya? 

Apapun yang dilakukan oleh waria tidak jarang dipandang sebelah mata, bahkan masih ada yang merasa masih "jijik" dengan keberadaan mereka. Boleh jadi orang-orang yang masih menolak waria juga korban dari konstruksi sosial dan sistem heteronormativitas.

Melalui buku ini, penulis telah memotret kehidupan waria yang terdampak secara sosial ekonomi. Mereka berusaha tetap bertahan hidup mulai dari mengamen di perempatan lampu merah, menjadi pekerja seks, pedagang aksesori, pengusaha, dan lain sebagainya.

Waria, baik sebagai individu maupun kelompok juga telah melakukan berbagai kegiatan ketika covid-19 melanda Indonesia. Pertama, komunitas waria telah membuka dapur umum, kedua, distribusi sembako. Ketiga, memberi bantuan stimulan usaha. Keempat memproduksi masker batik dan sabun cuci tangan. Kelima, beternak lele dan menanam sayuran sebagai bentuk ketahanan pangan. Sayangnya, semua kegiatan solidaritas waria di masa pandemi yang dilakukan oleh waria "luput" dari perhatian, kata Masthuriyah Sa'dan di halaman 218.

Bagi Masthuriyah, buku ini hadir sebagai ikhtiar (usaha) untuk mengikis stigma terhadap waria dan perempuan pekerja seks. Bagi saya, buku "Solidaritas Waria Yogyakarta" telah berhasil menyajikan fakta "terpendam" keterlibatan aktif waria, terutama di masa pandemi covid-19. Selain itu, buku ini juga bisa menjadi rujukan bagi kita semua ketika ingin mendapatkan informasi yang dibarengi dengan data-data hasil observasi penulis. 

Judul buku: Solidaritas Waria Yogyakarta
Pengarang: Masthuriyah Sa'dan
Penerbit: Gading Publishing, Yogyakarta
Tanggal Terbit: Juni 2021
ISBN: 9786239673932
Tebal halaman: 262
Lebar: 14.0 cm
Panjang: 21.0 cm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun