Memasak merupakan aktivitas yang menyenangkan. Di sana, ada ruang untuk mengeksplorasi, mengungkapkan, ada harapan, ada humor, dan bahkan terkadang ada "kekonyolan".Â
Biasanya, dalam suatu kegiatan, orang akan fokus pada hasil akhirnya. Namun ketika memasak, hasil akhir tidak selalu menjadi tujuannya namun pada prosesnya. Jika sudah begini, orang bisa berlama-lama di ruang dapur untuk mengkreasi berbagai macam variasi jenis masakan.
Sayangnya, aktivitas memasak yang menyenangkan ini kerap kali dianggap sebagai "kodrat" perempuan. Alasannya, perempuan dianggap lebih teliti, sabar, dan lebih detail dibandingkan laki-laki.Â
Anggapan ini terbentuk dari berbagai aspek, salah satunya karena terbiasa melihat perempuan memasak. Akhirnya terbangun asumsi bahwa memasak seolah-olah menjadi hak "paten" perempuan.
Saya merasa, memasak merupakan salah satu bentuk keterampilan dasar yang dimiliki oleh setiap orang. Makanya, tidak perlu heran jika keterampilan memasak sangat mungkin mengalami perubahan sesuai konteks zamannya.Â
Bagi saya, memasak merupakan seni "turun temurun" dalam menemu kenali, mengolah, meracik, dan meramu bahan makanan sebagai cara bertahan hidup atau bentuk dari kehidupan.
Oleh karena itu, munculnya ungkapan bahwa perempuan harus pandai memasak ternyata tidak selalu selaras dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.Â
Ketika keluar dari rumah; pergi ke pasar, warung makan, kedai kopi/teh, warung angkringan, kaki lima atau ke pedagang makanan keliling (bakso dan mie ayam), pusat kuliner dan tempat publik lainnya dengan mudah kita akan menemukan laki-laki menjadi juru memasak.Â
Ini berarti bahwa memasak tidak menjadi kepemilikan satu jenis kelamin tertentu saja. Atau dengan kata lain, bahwa memasak merupakan panggilan alamiah setiap orang demi bertahan hidup.
Meskipun begitu, secara jujur saya harus mengakui bahwa masih ada sebagian kecil di tengah masyarakat yang menganggap jika perempuan harus pandai memasak.Â