Semua orang memahami bahwa hakikatnya perempuan dan laki-laki terlahir sama, setara, dan sederajat serta tidak ada dikotomi. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu karena ada anggapan-anggapan yang disandarkan pada kebiasaan, penafsiran terhadap ajaran agama, pandangan dan perilaku bias gender serta adanya konstruksi yang menyebut bahwa sehebat hebatnya perempuan tetap di bawah laki-laki. Akibatnya, perempuan sering kali menjadi korban kekerasan.
Keadilan, kesetaraan, non diskriminasi, partisipasi, kontrol dan akses terhadap proses-proses pembangunan merupakan nilai-nilai yang ditawarkan-diperjuangkan-oleh paham feminis. Oleh karenanya jika ada narasi yang menyebut bahwa paham feminis ingin "melawan" laki-laki, maka bagi saya perlu ditelaah ulang agar tidak menjadi pemikiran liar.Â
Meminjam istilah Kim Litelnoni dalam Apa itu Feminisme mengungkapkan bahwa hendaknya setiap orang dapat melihat perempuan secara "utuh" sebagaimana apa adanya, bukan seperti seharusnya yang dipikirkan oleh sebagian kalangan laki-laki. Pandanglah perempuan sebagaimana manusia yang memiliki hak melekat yang dibawa sejak lahir, dan tanpa syarat.
Dalam pandangan saya, saat ini masih ada sebagian kecil kalangan yang menganggap jika peran perempuan "cukup" di wilayah rumah tangga, tidak perlu terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Persoalan ini disinyalir menjadi salah satu penyebab munculnya perlawanan oleh perempuan.Â
Peluang keterlibatan perempuan hendaknya tidak perlu dibatasi hanya di wilayah tertentu saja (baca: domestik), karena jika ini yang terjadi maka sungguh rentan melahirkan pembatasan hak-hak perempuan dalam mengakses berbagai sumber daya.Â
Memang, kita juga memahami bahwa secara biologis perempuan dan laki-laki tidak bisa disamakan. Akan tetapi menurut hemat saya tidak perlu ada pertentangan tentang siapa yang lebih "pantas" dihargai atau siapa yang lebih hebat. Dua-duanya memiliki hak mendapatkan perlakuan humanis.Â
Ketidakadilan, ketidaksetaraan menjadi penyebab munculnya gerakan feminisme. Paham yang telah lahir sejak ratusan tahun lalu sesungguhnya ingin "merayakan" hak kebebasan perempuan berekspresi, dan agar terlibat aktif dalam pelbagai aspek kehidupan. Gerakan ini hadir dari massifnya kegelisahan oleh sistem patriarki yang dalam bahasa Mansour Fakih cenderung eksploitatif, diskriminatif dan bahkan dekat dengan perilaku menindas; baik terhadap perempuan maupun laki-laki.
Paham feminis juga ingin menegaskan bahwa spirit perjuangan melawan ketidakadilan dan ketidaksetaraan pasti membutuhkan peran, dukungan dari semua pihak. Karena kesetaraan dan keadilan bukanlah sekedar jargon kehidupan, namun sebagai nilai-nilai kehidupan universal.Â
Selain itu, keadilan dan kesetaraan bukan merupakan arena pertandingan antar jenis kelamin. Akan tetapi sebagai peluang dan ruang terbuka menemukan kembali titik temu (common platfrom), kesamaan, menghadirkan prinsip kesalingan, dan sebisa mungkin menghindari "pertumpahan darah". Paham feminis juga ingin mengungkapkan bahwa perempuan juga memiliki peluang dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengembangkan diri di berbagai bidang; budaya, keagamaan, ekonomi, sosial, politik dan pendidikan.
Perlunya paham feminis
Ada beberapa argumentasi mengapa paham feminis akhirnya mendapatkan tempat dan membuat individu menyadari arti pentingnya paham tersebut. Pertama, perempuan masih mengalami berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan di jalanan yang lazim disebut "catcalling" atau "catcall", yaitu segala bentuk perilaku yang bertujuan atau memiliki tendensi seksual;  bersiul, berseru, kode-kode, menampilkan gestur, atau komentar.
Beberapa contoh catcalling yang kerap dialami oleh perempuan misalnya; siulan-siulan yang tidak jarang tampak seperti "pujian" ("Hai, cantik, mau ke mana, mau ditemani?"), ("Cewek, suit-suit? Sendirian saja, ngikut boleh dong?").
Laki-laki juga dapat menjadi korban catcalling. Namun saya juga percaya, perempuan cenderung lebih rentan mengalami perundungan di jalanan.
Saya juga meyakini bahwa perempuan hampir pasti pernah mengalami tindakan yang "ramah" ini karena biasanya pelaku catcalling menganggap bahwa yang dilakukannya sebagai hal yang lumrah atau boleh jadi karena tidak mengetahui bahwa tindakan tersebut termasuk bentuk pelecehan.
Atau sebaliknya, ada juga perempuan yang memilih tidak menanggapi ketika mengalami catcalling (terkadang ada yang tidak berdaya dan memilih mendiamkannya dengan harapan pelaku menyadari perbuatannya).Â
Di sisi lain, ada juga pelaku yang tidak memedulikan protes perempuan korban. Terkadang ditertawakan, diejek, dihina, diacuhkan atau bahkan dirundung oleh catcallers. Akibatnya, pelecehan terhadap perempuan semakin meningkat.
Kedua, bahwa perempuan tampaknya lebih sering diajari bagaimana cara berpakaian "sopan" daripada mengajarkan laki-laki agar menghormati perempuan. Sejak usia dini, kerap kali kita ditanamkan dan ditampakkan bagaimana seharusnya perempuan berpakaian yang tidak mengundang "syahwat" dan sopan. Sebaliknya, laki-laki dibiarkan bebas memilih pakaian yang disukainya.Â
Perempuan, juga memiliki kebebasan memilih dan menggunakan pakaian sesuai dengan kenyamanannya. Bukan didasarkan pada asumsi "menyenangkan" bagi orang lain yang melihatnya lantas memberikan standar "baku" terhadap jenis pakaian terhadap perempuan. Dalam beberapa kejadian tidak sedikit perempuan yang berpakaian rapat menutup aurat juga menjadi korban catcalling.Â
Tampaknya, pendidikan terhadap laki-laki yang mengajarkan penghormatan terhadap perempuan tetap diperlukan sebagai upaya meredam aksi pelecehan di jalanan. Munculnya "begal" payudara di jalanan Yogyakarta beberapa waktu lalu dapat menjadi bukti bahwa dalam kondisi apapun perempuan sungguh rentan menjadi korban pelecehan.
Belajar memahami paham feminis
Menurut pandangan saya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan ketika ingin merespon paham feminis. Pertama, memperbanyak literasi membaca atau bersedia berkenalan terlebih dahulu dengan paham feminis untuk menghindari komentar yang menjurus kepada perilaku menghakimi-menghujat.Â
Paham feminis adalah konsep yang menawarkan gagasan terhadap pendekatan keadilan dan kesetaraan peran agar semua orang terbebas dari segala bentuk kekerasan. Tidak tepat kiranya jika paham feminis diperlakukan secara tidak adil hanya karena melihat penampilan kasat mata para aktivis feminis yang ekspresif, lalu seenaknya dihujat karena penampilannya. Penulis juga memahami bahwa di dalam isu feminisme ada perbedaan pendapat di kalangan feminis ketika mengampanyekan agenda feminisme. Saya pikir hal tersebut lumrah, mengingat ada berbagai varian paham feminis.
Kedua, bersedia belajar memahami konteks mengapa paham feminis muncul sebagai gerakan sosial. Paham ini hadir memiliki cita-cita mulia agar semua orang terbebas dari segala bentuk kekerasan sebab suburnya praktik patriarki yang didefinisikan sebagai garis lurus vertikal, bahwa ujung garis tersebut ditempati oleh gender maskulin atau laki-laki. Sehingga, segala sesuatunya harus mendapat "izin" dari laki-laki yang berkuasa terlebih dahulu.
Memang, ada juga sebagian kalangan yang tidak setuju dengan paham feminisme. Alasannya, tidak sesuai dengan ajaran agama (Islam). Begitu setidaknya yang disampaikan oleh kelompok Indonesia Tanpa Feminis yang sempat ramai di jagat dunia maya beberapa waktu lalu.
Sebagai catatan penutup saya hanya ingin mengajak kepada seluruh pembaca agar "membuang" jauh prasangka-prasangka dan perlakuan tidak adil kepada para pejuang keadilan dan kesetaraan. Jangan sampai keinginan mulia paham feminis yang memiliki cita-cita membebaskan dunia (baca: perempuan) dari kekerasan dan sistem patriarki malah dikaburkan oleh perilaku yang tidak mencerminkan nilai-nilai adil gender. Semoga.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H