Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

4.294 Anak Menjadi Penyintas Kekerasan...

3 Januari 2019   15:57 Diperbarui: 3 Januari 2019   16:26 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: cdn.pixabay.com

Alasan menghukum anak dengan menggunakan cara-cara kekerasan dengan dalih memberi pelajaran atau sebagai bentuk ungkapan perasaan kasih sayang terkadang dianggap sebagai perbuatan yang lumrah atau wajar. 

Dalam beberapa peristiwa, jika anak tidak diberi "hukuman" yang bersifat fisik akan dianggap aneh atau keluar dari kebiasaan yang telah terlanjur mengakar (untuk tidak menyebut turun menurun), di ulang secara terus-menerus dengan berbagai dalil pembenaran. 

Persoalan tersebut semakin menjadi rumit manakala tindakan kekerasan sudah menjadi perilaku umum dan mampu memasuki ruang-ruang publik serta dapat menembus batas status; akademik, ekonomi, privat, sosial dan budaya. Bukan hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.

Dalam kehidupan sehari-hari kita kerap membaca, mendengar atau mengetahui ada anak yang di pukul, di jambak, di tampar, di jewer, di marahi, di banding-bandingkan, di siksa atau bahkan yang paling mengerikan hingga terjadi pembunuhan. Parahnya, para pelaku tindak kekerasan ini adalah orang yang dikenal atau diketahui oleh penyintas. Artinya dalam istilah lain penulis ingin menyatakan  bahwa anak benar-benar tidak seratus persen "aman" dari segala bentuk kekerasan; baik di ranah privat, rumah tangga maupun publik (baca; sekolah, pondok pesantren, situasi khusus, dan lain-lain).

Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) atau konvensi internasional yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak-anak (1989), menyebutkan bahwa kekerasan terhadap anak mencakup semua bentuk kekerasan; fisik, psikis, cedera dan pelecehan, pengabaian atau perlakuan lalai, penganiayaan atau eksploitasi, termasuk pelecehan seksual. 

Kekerasan terhadap anak tidak hanya mencakup kekerasan fisik, akan tetapi juga  termasuk kekerasan seksual, psikis, pengabaian, dan eksploitasi. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. 

Ratifikasi tersebut merupakan komitmen negara memberikan jaminan atas pemenuhan hak dan perlindungan seluruh anak Indonesia. Meskipun begitu, masih ada yang perlu ditingkatkan dalam konteks implementasinya, sebagai contoh misalnya tentang keberadaan kabupaten/kota layak anak yang belum merata serta pemenuhan hak dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi terutama bagi kelompok muda (remaja).

Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat  4.294 kasus kekerasan terhadap anak dilakukan oleh keluarga dan pengasuh pada 2011-2016. Dari temuan tersebut, kasus paling banyak terjadi pada 2013, yaitu 931 kasus kekerasan pada anak. Meskipun catatan menyebutkan bahwa jumlah ini terus menurun menjadi 921 kasus di 2014, 822 kasus di 2015, dan 571 kasus di 2016 bukan berarti tidak ada lagi kekerasan terhadap anak. Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu lalu pemerintah menyebut jika Indonesia darurat kekerasan (kejahatan) seksual saking banyaknya anak-anak yang menjadi penyintas.

Kasus kekerasan yang terjadi di rumah dan tempat pengasuhan ini berada di urutan kedua teratas, setelah persoalan anak terlibat kasus hukum yang tercatat sebanyak 7.698 kasus. Bila dirincikan, di 2016, misalnya, sebanyak 186 anak menjadi korban perebutan Hak Kuasa Asuh. Selain itu, 312 anak dilarang bertemu dengan orangtuanya dan 124 anak menjadi korban penelantaran ekonomi. Di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman, anak justru sangat rentan menjadi korban kekerasan.

Data yang dilansir oleh KPAI tersebut semakin diperkuat oleh temuan dari Global Report 2017: Ending Violence in Childhood menyebutkan jika 73,7 persen anak-anak Indonesia yang berumur 1-14 tahun mengalami pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline) atau agresi (serangan) secara psikologis dan hukuman fisik di rumah (Scholastica Gerintya. 73,7 Persen Anak Indonesia Mengalami Kekerasan di Rumahnya Sendiri. https://tirto.id, 2018). Dari jumlah angka tersebut menjadi tanda jika anak-anak merupakan kelompok rentan mengalami kekerasan.

Dalam masyarakat yang masih kental dengan tradisi patriarkhi atau menganggap laki-laki lebih memiliki kuasa, tindakan kekerasan dalam berbagai bentuk perlu direduksi secara sistematis. Oleh karenanya, setiap elemen perlu memperhatikan permasalahan ini dengan serius secara berkelanjutan. Menurut hemat penulis, setiap tindakan kekerasan biasanya akibat dari niatan ingin menguasai atau memandang pihak lain lebih lemah. 

Dalam konteks kekerasan terhadap anak dengan pelaku orang tua, sering kali ada anggapan yang diyakini kebenarannya bahwa anak adalah "properti" atau hak milik orang tua. Dalam konteks ini bukanlah informasi baru jika orangtua atau keluarga yang dekat dengan penyintas juga memiliki kecenderungan sebagai pelaku kekerasan terhadap anak.

Permasalahan lain yang mustinya kita perhatikan yaitu masih adanya hubungan timpang atau jauh dari nilai-nilai kesetaraan dan keadilan juga menjadi penyebab makin maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Oleh karena itu menurut hemat penulis, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kekerasan adalah CANDU, sekali saja kita melakukan tindakan kekerasan maka biasanya akan mendorong melakukan kekerasan lainnya.

Boleh jadi, ketika seseorang (baca; orang tua) beralasan sedang mendidik namun menggunakan cara-cara tindak kekerasan, sesungguhnya sebagian besar dari para pelaku kekerasan entah sadar atau tidak telah melakukan perbuatan yang melampaui batas kemanusiaan. Bagaimana mungkin agar kita terlihat berwibawa, tampak gagah, tampil tegas, dihormati atau bahkan agar dipatuhi melakukan tindak kekerasan? Justru sebaliknya yang terjadi adalah ketakutan yang dibungkus dengan ketaatan. 

Meminjam istilah Kahlil Gibran menyebut jika Anakmu Bukanlah Anakmu. Dalam bahasa lain, anak-anak "menumpang" lahir melalui orangtua, tinggal, makan dan tidur bersama orang tua, namun mereka bukanlah milik kita. Artinya, setiap anak atau bahkan setiap individu memiliki cara pandang sendiri. Sebagai orang tua kita hanya dapat menyajikan pilihan-pilihan, menawarkan sudut pandang, mengisi dengan pengetahuan-pengetahuan, namun membuat keputusan bukanlah hak mutlak orang tua. Karena, setiap individu memiliki otoritas untuk menetukan kebijakan yang terbaik bagi dirinya sendiri.

Apapun tujuan dan alasannya, dampak kekerasan terhadap anak tidak boleh dianggap sepele atau dipandang sebelah mata. Apalagi sampai memakluminya. Jika tindak kekerasan dibiarkan, menurut hemat penulis sedikitnya akan ada empat (4) area yang dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang jika anak mengalami tindak kekerasan, yaitu; kesehatan fisik, psikis, seksual, ekonomi dan sosial. Jika kita menyadari bahwa setiap individu memiliki risiko yang sama menjadi pelaku atau penyintas maka kita juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk bersama-sama membagikan pesan, narasi pencegahan kekerasan terhadap anak.

Lalu bagaimana caranya agar kita mampu menghindari pola kekerasan? Pertama, pola pikir, pola asuh yang memproduksi kekerasan semestinya kita tidak menerimanya sebagai tindakan yang benar dan wajar. 

Penulis berpendapat bahwa ketika ada pola pikir (pengetahuan) yang tidak di ubah dalam mendidik anak yang penuh kekerasan maka lambat laun pola ini dikhawatirkan menjadi kebiasaan yang dianggap benar, meskipun salah.  Kedua, menghindari perilaku yang memberikan label "nakal" (biasanya terhadap anak aktif), karena hal ini secara tidak langsung sedang melakukan upaya mematikan kreativitas anak. Pola sikap yang memberikan label negatif terhadap anak biasanya akan berdampak anak-anak meniru perilaku tersebut. 

Bayangkan jika anak mencontoh semua bentuk perilaku salah orang tua, maka anak-anak juga akan melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Kita semua memahami bahwa anak-anak adalah peniru terbaik segala bentuk perilaku orangtuanya. Ketiga, tidak melakukan kekerasan dengan dalih apapun (terutama bagi orang tua); baik sebagai hukuman maupun demi kesiplinan apalagi sekedar sebagai pelampiasan atas amarah. Jika tindakan kekerasan dengan dalih pembenaran dilakukan, maka sesungguhnya kita sedang menciptakan kekerasan yang berulang. Jika hal ini yang terjadi maka diperlukan upaya lebih maksimal dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap anak.

Memang, perlindungan terhadap anak merupakan tanggung jawab bersama namun dalam konteks regulasi dan implementasinya negara (baca;pemerintah) memiliki kewajiban lebih karena memiliki sumber daya yang luar biasa lengkap, terutama terkait dengan struktur kelembagaan yang telah tersedia dari pusat hingga daerah. 

Patut disayangkan jika negara beralasan kekurangan sumber daya dalam proses-proses pencegahan-penanggulangan kekerasan terhadap anak. Negara, semestinya memiliki kemauan dan kemampuan untuk menggerakkan seluruh organisasi perangkat dinasnya agar permasalahan kekerasan terhadap anak bisa menjadi topik bersama dalam setiap implementasi kebijakan dan keberhasilan pembangunan mental manusia.

Secara umum, masyarakat luas dapat berperan dalam proses pencegahan dan pendampingan jika menjumpai penyintas kekerasan.  Namun, khusus untuk orangtua dan keluarga tentu memiliki memiliki peran yang cukup signifikan. Di antaranya merawat, mendidik, melindungi, menemani anak ketika bertumbuh kembang sesuai dengan minat dan bakatnya serta turut berperan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak karena setiap anak yang dilahirkan memiliki hak-hak dasar, yaitu; pertama, hak hidup yang meliputi hak mendapatkan identitas diri dan status kewarganegaraan, mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial, hak untuk beribadah menurut agamanya, berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua/wali. 

Kedua, hak tumbuh dan berkembang meliputi; hak untuk beristirahat, mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi dan hak mendapatkan perlindungan dari kejahatan seksual yang dilakukan oleh pendidik. Ketiga, hak berpartisipasi meliputi; hak untuk menyatakan dan didengar pendapat, hak mendapatkan, mencari dan memberikan informasi sesuai tingkat kecerdasannya dan ke-empat, hak mendapatkan perlindungan meliputi; perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peperangan, pelibatan dalam kekerasan seksual, dan perlindungan dari pelibatan sengketa bersenjata atau peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.

Sebahagian besar orangtua pasti sudah memahami parenting atau proses pembelajaran, pendidikan, yang dilaksanakan oleh orangtua dan keluarga dengan memanfaatkan sumber pengetahuan yang ada di dalam lingkungan keluarga bisa menjadi salah satu alternatif bagaimana melakukan pola komunikasi dengan anak. Kita semua telah menyadari jika orang tua merupakan contoh paling lazim bagi anak, dengan bahasa lain bahwa orang tua semestinya memiliki proses yang berkualitas dekat dengan anak. 

Belajar mendengarkan, membuat suasana yang hangat, ramah dan penuh keceriaan adalah contoh yang bisa dilakukan oleh orangtua terhadap anak. Dalam konteks ini penulis ingin menekankan pada gaya pentingnya membudayakan komunikasi asertif atau membiasakan untuk bicara jujur dan terbuka. 

Dengan mengedepankan kejujuran dan keterbukaan maka orangtua sesungguhnya sedang menanamkan nilai-nilai kehidupan. Ada pepatah yang mengatakan jika kejujuran merupakan mata uang yang berlaku di mana pun. Artinya, jika kita ingin mengajarkan kejujuran terhadap anak harus dimulai dari diri kita sendiri, selain itu orangtua juga dituntut untuk konsisten dalam kata dan perbuatan yang mencerminkan kejujuran, apapun bentuknya.

Sebagai catatan akhir, penulis ingin mengingatkan kembali jika kekerasan terhadap anak apapun bentuknya tidak bisa dibenarkan. Anggapan lumrah terhadap pemberian hukuman terhadap anak dan kebiasaan mendiamkan tindak kekerasan semestinya setiap pribadi menghindarinya dan membuang jauh-jauh semenjak dari pikiran yang terejawantahkan dalam setiap perilaku keseharian.
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun