Persoalan pelecehan seksual tampaknya masih dianggap tabu meskipun sekedar diperbincangkan. Bagaimana tidak? Viralnya kasus BNM yang divonis bersalah karena merekam pembicaraan "bosnya" ditempat dia mengajar menjadi catatan mengerikan bagi penegakkan hukum di indonesia.Â
Saya percaya jika persoalan pelecehan seksual ini tidak mendapatkan perhatian serius dari negara, maka para korban pelecehan seksual bisa menjadi takut atau bahkan enggan melapor karena ketiadaan perangkat hukum yang akan melindunginya, sedangkan para bajingan atau pejahat seksual dengan sesuka hati berkeliaran tanpa tersentuh hukum atau tidak memperoleh sanksi. Benarkah sudah tidak ada  keadilan di negeri ini?
Kasus ini bermula ketika BNM dilecehkan oleh Haji Muslim Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram. Haji Muslim menceritakan pengalaman pribadinya berhubungan seksual dengan perempuan lain yang bukan istrinya melalui sambungan telekomunikasi telepon. Menurut laman https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181114133306-12-346485/kronologi-kasus-baiq-nuril-bermula-dari-percakapan-telepon perbincangan tersebut terus berlanjut dengan nada-nada pelecehan terhadap BNM. Haji Muslim, sebagai kepala sekolah menelepon BNM lebih dari sekali, sehingga BNM merasa terganggu dan merasa dilecehkan oleh Haji Muslim secara verbal. Tak hanya itu, orang-orang di sekitarnya menuduhnya memiliki hubungan gelap dengan Haji Muslim.
Karena tidak nyaman dan ingin membuktikan bahwa dirinya tidak ada hubungan dengan Haji Muslim seperti yang dibicarakan oleh orang-orang disekitarnya, BNM memberanikan diri merekam percakapan tersebut. BNM menyimpan rekaman tersebut, namun tidak untuk disebarluaskan karena BNM khawatir dan takut dipecat dari pekerjaannya sebagai pendidik di sekolah tersebut, maka BNM tidak berani melaporkan peristiwa tersebut.
Suatu waktu rekan kerja BNM, Imam Mudawin meminta rekaman tersebut dan melaporkan tindakan pelecehan yang dilakukan oleh Haji Muslim selaku kepala sekolah SMAN 7 kepada Dinas Pendidikan kota Mataram dan instansi lainnya. Singkat cerita, Haji Muslim dimutasi dari jabatannya. Sekali lagi hanya dimutasi tanpa ada sanksi apapun dari dinas terkait. Apakah mutasi dapat diartikan sebagai sanksi? Tentu saya sangsi menanggap hal tersbut sebagai sanksi. Dalam perjalanan kasus ini, Haji Muslim tidak terima dengan perekaman tersebut, lalu melaporkan kepada kepolisian.
Saat ini boleh jadi gambaran perasaan BNM, seorang korban pelecehan seksual yang dinyatakan bersalah sedang menangis sambil bertanya, dimanakah keadilan di negeri ini saat dibutuhkan? Dimanakah kehadiran negara ketika rakyatnya menjerit? BNM, seorang pendidik (guru) honorer di SMAN 7 Mataram yang mendapatkan vonis enam bulan penjara dan denda sebesar lima ratus juta rupiah dalam kasus perekaman kesusilaan oleh Mahkamah Agung memutuskan BNM bersalah telah melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE yang dianggap menyebarkan informasi elektronik yang mengandung muatan asusila.
Proses berjalan, kasus ditangani oleh pengadilan negeri Mataram pada 2017. Majelis hakim memutuskan BNM bebas dan tidak terbukti menyebarkan percakapan tersebut. Semua ahli yang dihadirkan menyatakan jika tuduhan kepala sekolah SMAN 7 kepada BNM mentransfer, mendistribusikan atau menyebarkan percakapan yang direkam tidak terbukti sama sekali.
Dikutip dari laman http://wartakota.tribunnews.com/2018/11/18/kronologi-menyebarnya-rekaman-mesum-mantan-kepsek-mataram-yang-menyeret-baiq-nuril-maknun menyebutkan bahwa berdasarkan Salinan Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.MTR yang diperoleh Warta Kota, berikut kronologi tersebarnya rekaman percakapan mesum sesuai keterangan BNM di persidangan:
Menimbang, bahwa Terdakwa di persidangan telah memberikan keterangan, yang pada pokoknya, sebagai berikut:
1. Bahwa terdakwa dalam keadaan sehat walafiat, jasmani rohani;
2. Bahwa Terdakwa Baiq Nuril Makmun pada waktu kejadian adalah bekerja sebagai tenaga honorer yang membantu bendahara SMAN 7 Mataram yaitu perempuan Landriati;