Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menebarkan Pesan Toleransi Ber-Agama

5 Agustus 2015   11:00 Diperbarui: 5 Agustus 2015   11:07 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata toleransi dalam bahasa budaya masyarakat (baca:Jawa) dikenal dengan tepo seliro atau dalam istilah Arab lebih populer dengan istilah tasamuh. Kata toleransi dapat kita dengarkan dalam berbagai kesempatan; pengajian, acara diskusi-diskusi baik formal, non formal, bahkan dalam situasai kongkow tidaklah asing dengan kata toleransi. Maka dari itu tidaklah terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa toleransi merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat sebagai bentuk implementasi ajaran agama yang universal. Hanya saja sikap ini (toleran-red) kerap ditempatkan sebatas pada persoalan perbedaan mengenai kepenganutan terhadap suatu agama. Maka akibat yang ditimbulkan adalah minusnya sikap dan rasa saling menghormati ketika tepo seliro tersebut hanya diperuntukkan kepada umat di luar agama yang dianut.


Agama, sudah selayaknya dapat menjadi motor gerakan bagi umat manusia untuk selalu mempromosikan pesan perdamaian meskipun ada pandangan yang tidak sama. Lebih dari itu sebenarnya agama juga semestinya dapat melahirkan kesejahteraan dan hadir dalam bentuk nyata untuk membela kepentingan umat manusia, utamanya kaum mustadz’afin (lemah). Artinya bahwa disisi lain agama juga dapat “memicu” terjadinya violence (kekerasan), dimulai dari wilayah domestik hingga wilayah publik. Di negeri memiliki hukum positif menganut azas praduga tak bersalah ini tercatat ada beberapa tindak kekerasan yang sulit untuk tidak menyebutnya berlatar belakang sentiment keagamaan. Apa yang terjadi di Maumere (1995), Situbondo, Surabaya dan Tasik Malaya (1996), Rengas Dengklok (1997), Jakarta, Solo dan Kupang (1998), Poso, Ambon (1999-2002) adalah contoh nyata konflik yang telah merugikan negeri ini baik secara materi ataupun non materi. Atau peristiwa paling gres yaitu dugaan pelarangan shalat I’dul Fitri di Tolikara Papua, percobaan pembakaran gereja di Bantul, Yogyakarta dan Purworejo Jawa Tengah (2015) tidak bisa kita anggap sebagai kejadian remeh. Karena akan menimbulkan efek “gesekan” di tengah masyarakat apabila tidak segera di tangani dengan objektif.


Tema mengenai suatu perbedaan bukan berarti selalu harus menghakimi lebih-lebih merusak, akan tetapi dapat menjadi lebih bijaksana manakala mampu mensikapinya sebagai sebuah keutuhan berkehidupan, istilah Anthony Synnot (Yogyakarta: 1993) sebagai tubuh sosial yang berarti bahwa apa yang secara fisik dimiliki oleh setiap individu seperti kepala, mata, tangan, kaki, tubuh, dan seterusnya juga dimiliki orang lain meskipun dalam bentuk dan ukuran yang tidak selalu sama. Walhasil apa yang disebut sebagai ideologi (berpikir), tingkah laku, pengamalan terhadap suatu kepercayaan dan ajaran agama sesungguhnya terdapat pada kelompok lain.
Dari sini dapatlah dikatakan bahwa persoalan keragaman tidaklah dapat dipaksakan oleh individu maupun suatu kelompok. Lebih-lebih pada wilayah keagamaan yang notabenenya setiap agama memiliki ajaran yang tentu tidak sama persis antara satu dengan lainnya. Meminjam istilah teolog (Hans Kung) bahwa setiap agama sudah selayaknya membangun argumen-argumen daripada hanya bercerita dan bertutur secara sederhana. Karena jika kita diperhatikan secara seksama memiliki dua tantangan: tantangan untuk menuturkan kisah kelompok agama tersebut, namun apa yang dituturkan dalam kelompok agama sendiri sangatlah dimungkinkan masih dianggap “asing” oleh kelompok agama lain.


Melihat hal tersebut sesungguhnya peran dan tanggung jawab agama diperlukan untuk dapat menjadi jembatan persahabatan bagi umat, bahkan dengan kelompok agama yang tidak sama. Dengan demikian bahwa proyeksi mengenai proses interaksi sebagai sesama manusia menjadi penting untuk dilakukan secara terus menerus, mengingat adanya interaksi secara sosial terus-menerus akan dapat melahirkan apa yang disebut sebagai pengalaman kehidupan yang penuh kebersamaan, saling menghormati dan saling menghargai yang dapat memahami keberadaan kelompok lain serta menghindari untuk terjebak dengan suatu monopoli kebenaran oleh satu kelompok agama.


Keberadaan orang lain lebih-lebih kelompok yang tidak sama idealnya mendapatkan ruang yang setara tanpa dibumbui kalimat yang memicu konflik. Artinya, bahwa identitas memang diperlukan namun bukan berarti harus meniadakan identitas lain diluar kelompok. Disinilah sebenarnya peran pendidikan keagamaan dibutuhkan, namun bukanlah model pendidikan yang bersifat formal top down. Menurut hemat saya Negara merupakan bagian kecil yang tidak perlu ikut campur terlalu dalam dalam pengelolaan keberagaman, posisinya cukup sebagai pelindung warga. Masyarakat selayaknya diberi kesempatan untuk membiarkan dirinya sendiri memilih dengan rasa penuh kesadaran dan kenyamanan. Apa yang biasa disebut pesantren, pengajian di majelis ta’lim, diskusi di cakruk, ngobrol di angkringan juga merupakan bentuk pendidikan model masyarakat yang sebenarnya dan lebih multikultur dibandingkan pendidikan yang sifatnya formal.


Maka, disamping harus terus-menerus melakukan langkah koreksi dan pencegahan, minimal sebagai tindakan dalam rangka mengurangi gejolak “pertentangan” atas nama agama dimasa mendatang dibutuhkan suatu tindakan nyata atau terobosan pemikiran keagamaan sebagai wujud pertanggungjawaban moral kepada sesama manusia. Mengintensifkan forum-forum dialog antar umat beragama, membangun pemahaman agama yang lebih pluralis dan inklusif serta mentransfer pengetahuan mengenai pluralitas di lembaga-lembaga pendidikan dimulai sejak dini misalnya merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa. Selanjutnya dalam tataran kultural diperlukan cara pandang yang lebih bijak dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama atau yang dikenal dengan istilah hermeneutika sebagai suatu upaya mengikis perilaku taqlid buta dan klaim kebenaran. Atau juga dengan melakukan kerjasama kegiatan yang bersifat lapangan (out bond, napak tilas, mengunjungi situs sejarah bangunan candi dan sebagainya ) adalah contoh nyata yang dapat dilakukan. Semoga *

*Dari ber[caption caption="toleransi"][/caption]bagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun