Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Nikah Karbit”: Menguak Realita dan Resiko

18 Juni 2015   14:23 Diperbarui: 13 Juli 2015   16:47 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini tidak sulit kita menemukan praktik pernikahan di bawah umur atau lazim disebut pernikahan dini atau bahkan dalam bahasa lain kerap dikenal sebagai “Nikah Karbit” (Ajeng Puspa dkk, 2013), yaitu suatu pernikahan/perkawinan yang belum saat-nya dikarenakan syarat-syarat pernikahan yang belum terpenuhi oleh calon mempelai dengan batasan umur yang telah ditentukan oleh Undang-undang Perkawinan tahun 1974, yaitu 21 tahun (Pasal 6 ayat 2) atau bagi yang belum berusia 21 tahun yaitu pihak pria sekurang-kurangnya mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun dan harus mendapatkan izin dari kedua orang-tua (Pasal 7 ayat 1). Memang benar, dalam keadaan tertentu menikahkan anak di bawah usia tetap diperbolehkan, namun pihak-pihak yang bersangkutan harus mengajukan permohonan dispensasi nikah dengan resiko mendapat “gunjingan”. Meskipun undang-undang perkawinan memperbolehkan praktik dispensasi ini, tentu saja akan ada “badai besar” dalam jagad pernikahan di Indonesia, yaitu semakin membuka peluang untuk terjadinya pernikahan di bawah umur yang dapat mereduksi nilai sakralitas dan esensi suatu pernikahan.

Dalam catatan global, menurut United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA), Indonesia merupakan negara ke-37 dengan jumlah pernikahan dini terbanyak di dunia. Sedangkan untuk level ASEAN, Indonesia berada di urutan kedua terbanyak setelah Kamboja. Menurut catatan BKKBN 2014, hampir 50 % dari 2, 5 juta pernikahan per-tahun adalah kelompok usia di bawah 19 tahun yaitu 11, 12 sampai 19, namun untuk kelompok terbanyak ada usia 15, 19 tahun yang mencapai sekitar 48 %.

Kita semua hampir pasti menemukan argumentasi mengapa ada orang melakukan praktik pernikahan ini; baik karena dijodohkan, akibat dari kehamilan tidak di inginkan (KTD) atau karenan sebab dan alasan lain. Apapun alasannya pernikahan dini tetap saja perlu dihindari meskipun masih saja ada paradigma diluar sana yang menyebutkan bahwa “banyak anak banyak rejeki”. Tagline tersebut seolah menjadi “racun” yang memabukkan untuk melanggengkan praktik pernikahan dini. Kita memiliki kepentingan untuk mempromosikan bahaya pernikahan dini sebagai salah satu upaya untuk mengurangi angka kematian bayi dan ibu, terlebih bagi anak perempuan karena akan lebih banyak menanggung resiko ketika tetap “nekat” melangsungkan pernikahan di bawah umur.

Pernikahan dini dengan dalih apapun selalu saja akan melahirkan resiko; baik secara fisik, psikis, sosial maupun kesehatan. Pertama, secara organ reproduksi perempuan tentu saja belum siap untuk berhubungan intim atau bahkan hamil, sehingga perempuan “dipaksa” hamil maka akan beresiko mengalami tekanan darah tinggi dan gangguan kesehatan lainnya seperti kejang-kejang atau perdarahan bahkan keguguran atau bahkan beresiko mengalami kematian pada ibu atau bayinya. Lebih dari itu dalam sudut pandang kesehatan reproduksi, sesungguhnya sel telur yang dimiliki oleh perempuan juga belum siap melakukan pembuahan. Resiko lebih lanjut yang pati dijumpai adalah apabila melahirkan maka dapat dipastikan menemui persoalan baru, yaitu dalam melakukan perawatan bayi pasca melahirkan. Kita semua tahu bahwa perawatan kehamilan dan kelahiran memerlukan ilmu dan pengetahuan yang lengkap atau yang populer dikenal sebagai rantai kesehatan; sehat fisik, psikis dan sosial.

Kedua, secara psikis pasangan usia dini belumlah memiliki kesiapan. Kehamilan yang terjadi saat usia remaja, terlebih yang tidak mendapatkan dukungan dari suami (baca: yang menghamili) beresiko mengalami tekanan batin, baik masa kehamilan maupun pasca melahirkan. Tentu saja, tekanan batin yang dialami oleh pasangan muda dapat “mengganggu” dalam melakukan manajemen emosi ketika menghadapai perubahan anatomi tubuh dan tentu saja pada masa perawatan bayi ketika melahirkan yang dikhawatirkan menimbulkan benceng karep (adanya ketidak sepakatan antar pasangan).

Ketiga, dalam kacamata kesehatan reproduksi, pernikahan dini juga beresiko terkena infeksi menular seksual (IMS), kanker servick dan terpapar virus HIV yang penyebarannya mengalami kecenderungan naik dari tahun ke tahun, terlebih bagi perempuan ibu rumah tangga perlu lebih waspada. Kenapa demikian? Karena untuk sekarang ini menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, pengidap terbesar viru HIV adalah ibu rumah tangga yang tertular dari suami mencapai 6.539 orang pada 2014. Selanjutnya, kita semua tahu bahwa IMS dapat menyebabkan gangguan pada serviks (mulut rahim) yang merupakan silent killer (pembunuh senyap) paling tenar saat ini. Sedangkan secara epidemiologis terdapat kaitan erat antara penyebaran IMS dengan penularan HIV. Infeksi menular seksual, baik dengan adanya perlukaan maupun tanpa perlukaan secara faktual telah terbukti meningkatkan resiko penularan HIV, yaitu terutama melalui hubungan intim. Oleh karenanya pernikahan dini bukanlah persoalan ringan mengingat dampak lanjutan yang akan ditanggung, terutama bagi anak perempuan di kemudian hari.

Akhirnya kita semua dituntut untuk berperan aktif untuk meminimalisir dampak dari terjadinya pernikahan dini sebagai salah satu tanggung jawab moral terhadap generasi selanjutnya. Dalam konteks ini saya melihat minimal ada dua hal yang perlu kita sumbangkan. Secara struktural, Negara dalam konteks ini pemerintah bersama jajaran yang terkait sudah semestinya melakukan terus-menerus transfer pengetahuan (sosialisasi) kepada masyarakat sebagai salah satu upaya pencegahan pernikahan dini. Lebih dari itu sesungguhnya sebagai usaha dalam memperkuat infrastruktur pendidikan di lini dasar dan menengah. Selanjutnya melakukan kerja-kerja berjejaring bersama pondok pesanttren, institusi sekolah, organisasi keagamaan dan organisasi masyarakat lainnya dalam rangka menciptakan aktor-aktor penggerak perubahan di ranah komunitas. Lebih jauh, secara kultural perlu menggiatkan kembali diskusi-diskusi tematik di tengah masyarakat sebagai salah satu upaya pembangunan kapasitas di tingkat arus bawah yang saat ini kecendurangannya mulai pudar atau bahkan melakukan pembangunan kesepahaman antara pengambil kebijakan dan masyarakat yaitu melalui jaring aspirasi dalam konteks perlindungan terhadap perempuan dan anak untuk terbitnya kebijakan yang lebih berperspektif kesetaraan dan keadilan.* Dari berbagai sumber.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun